Review Jurnal : KEPASTIAN HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEGIATAN INVESTASI DI INDONESIA
Pengarang : Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.HumSumber : http://ocw.usu.ac.id/course/download/10430000019-hukum-transaksi-bisnis-internasional/hk_607_slide_kepastian_hukum_dalam_transaksi_bisnis_internasional_dan_implikasinya_terhadap_kegiatan_investasi_di_indonesia.pdf
A. Abstract
Melalui UU No. 25 Tahun 2007 Indonesia telah menyatakan tekadnya untuk mewujudkan sebuah sistem hukum investasi yang berkepastian hukum. UU ini menempatkan asas kepastian hukum sebagai asas utama penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. Dengan keluarnya UU ini, tidak dengan sendirinya seluruh problema investasi di Indonesia menjadi terselesaikan. UU ini hanya sebuah sub-sistem dari kompleksnya pengaturan investasi di Indonesia. Oleh karena itu UU ini harus didukung oleh kepastian dalam peraturan perundang-undangan lain yang terkait langsung dengan aktifitas investasi, termasuk berbagai peraturan tentang transaksi bisnis internasional. Berbagai perkara mengenai transaksi bisnis internasional yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa lemahnya substansi hukum dan penerapan hukum terkait transaksi bisnis internasional masih menjadi kendala bagi perbaikan iklim investasi di Indonesia. Oleh karena itu, selain pembangunan hukum dalam pengertian substansi hukum terkait investasi, harmonisasi hukum, juga diperlukan penguatan kapasitas pemahaman aparat penegak hukum, para lawyer dan para pelaku usaha tentang aspek hukum transaksi bisnis terutama yang berdimensi internasional.
B. Kepastian Hukum sebagai Pertimbangan Utama Investor
Horikawa Shuji, salah seorang pengusaha asal Jepang menjelaskan pertimbangan investasi sebagai aliran air. Air selalu mengalir dari tempat yang paling tinggi ke tempat yang paling rendah. Apapun alasannya, pelaku bisnis selalu mencari itu, sebab pengusaha itu butuh ketenangan berusaha, berharap mendapat insentif yang memadai dari pemerintah dimana ia berinvestasi dan memperoleh peluang untuk berkembang dengan lingkungannya, dengan karyawannya dan dengan mitranya secara baik. Tanpa itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk berkembang.14 Apa yang bisa membuat investor merasa tenang dalam berusaha adalah adanya kepastian hukum, karena dengan kepastian hukum investor dapat melakukan sejumlah prediksi terhadap rencana usaha yang dilakukannya.
Dengan demikian selain faktor politik ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas hukum. Pendapat senada dikemukakan oleh Paul V. Horn dan Henry Gomez sebagai berikut :15
13 Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2007 adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. 14 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Alia, Bandung, 2007, hlm. 52 15 Paul V. Horn and Henry Gomez, International Trade Principles and Practices, Fourth Edition, prentice Mall, Engleuxwd, New Jersey, 1964, hlm. 261. Perhatikan juga Sentosa Sembiring, ibid., hlm. 44-47
“ In making foreign investment a number of important points are to be taken into consideration. The Investor is concerned, first, with the safety of his investment and, second, with the return which it yields. The factors having a direct bearing on these considerations may be classified as follows : (1). Political stability and financial integrity in the borrowing or host country; (2) purpose for which the investment is made ; (3) laws pertaining to capital and taxation, attitude towards foreign investment, and other aspects of the investment climate of the host country; (4) future potential and economic growth of the country where the investment is made; (5) exchange restrictions pertaining to the remission of profits and with-drawal of the initial investment.”
Berdasarkan pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bila suatu negara ingin menjadi tujuan investasi, maka hukum terkait prosedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian. Namun berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidakpastian hukum sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan investasi baik asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung (direct investment) maupun portfolio investment. Studi Bank Dunia yang dipublikasikan tahun 2005 mencatat bahwa pada tataran perusahaan (firm level) ditemukan sejumlah hambatan investasi yang masuk dalam kategori instabilitas makro-ekonomi, kebijakan dan regulasi yang tidak pasti dan tingginya tingkat korupsi. Masalah lainnya meliputi rendahnya atau sulitnya akses terhadap pembiayaan, rendahnya supplay energi listrik, rendahnya skill tenaga kerja, regulasi bidang ketenagakerjaan, dan sejumlah persoalan terkait desentralisasi kewenangan investasi pada tingkat pemerintahan daerah.
C. Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Masih Menjadi Faktor Penghambat Investasi di Indonesia
Dalam hukum investasi, aktifitas investasi tidak hanya meliputi tahap entry appropal (right to entry) atau yang biasa dikenal dengan istilah green field investment, tetapi investor juga akan memperhatikan aspek kepastian hukum pada tahap post establishment stage atau brown field investment. Pada fase ini investor sangat perhatian terhadap sisi stabilitas, prediktibilitas dan kepastian hukum terkait aktifitas usaha, hukum kontrak dan transaksi bisnis pada umumnya. Hal ini sesuai dengan kategori komponen-komponen yang mempengaruhi investasi, yakni : (1). Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi cost seperti pajak, beban regulasi, pungutan liar (red tape), korupsi, infrastruktur, ongkos operasi, investasi perusahaan (finance cost) dan investasi di pasar tenaga kerja; (2). Kelompok yang mempengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas makro ekonomi, stabilitas dan prediktibilitas kebijakan, property right, kepastian kontrak dan hak untuk mentransfer keuntungan dan (3). Hambatan untuk kompetisi yang terdiri dari hambatan regulasi untuk masuk dan keluar dari bisnis, berfungsinya pasar keuangan dan infrastruktur yang baik, serta tersedianya dengan efektif hukum persaingan.18
Kepastian hukum dalam transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di Indonesi masih rendah dan sangat mempengaruhi minat investor. Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak antara investor asing dan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, badan usaha milik negara maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan. Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap ditengarai adanya praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman substansi kontrak berakibat pada terkendalanya investasi yang dilakukan. Banyak investor jangka panjang yang menanamkan modalnya harus kecewa karena baru dua tiga tahun berjalan,kontrak dibatalkan oleh pengadilan. Secara perhitungan ekonomi jelas ini sangat merugikan mengingat sebelum keuntungan didapat, bahkan break even point tercapai, kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak (sanctity of contract) seolah tidak berlaku di Indoensia.19 Investor sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka keputusan persidangan sering tidak konsisten dalam menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia.
D. Kepastian Hukum dalam Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing terkait Transaksi Bisnis
Penyelesaian sengketa transaksi bisnis umumnya dilakukan secara konvensional melalui litigasi, akan tetapi implikasi kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap pengadilan, dimana pengadilan sering dianggap tidak professional dalam menangani sengketa bisnis dan tidak independen.25 Bagi kenayakan pelaku transaksi bisnis internasional, penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap tidak efektif dan efisien lagi serta memerlukan waktu yang relative lama. Di samping itu, penyelesaian sengketa melalui pengadilan menempatkan para pihak pada sisi yang bertolak belakang, satu pihak sebagai pemenang (winner) dan pihak lain sebagai pihak yang kalah (looser). Hal ini kerap dipandang tidak menyelesaikan masalah bahkan semakin memperuncing perselisihan dan akhirnya terjadi permusuhan yang tidak berkesudahan. 26 Oleh karena itu, arbitrase lahir sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang dinilai efisien dan efektif bagi transaksi bisnis, khususnya yang bernuansa internasional.
Banyak faktor yang mendorong para pelaku transaksi bisnis internasional memilih arbitrase, diantaranya adalah karena putusan arbitrase bersifat final and binding dan karenanya cenderung siap untuk dilaksanakan, dan sifat arbitrase yang menjamin netralitas Dewan Arbitrase yang dipilih para pihak, artinya tidak mempunyai national character.27 Kedua alasan ini selalu menjadi pertimbangan pihak asing yang melakukan transaksi bisnis di Indonesia. Pertimbangan pertama lebih mengarah pada aspek kepastian hukum, dan pertimbangan kedua lebih ditujukan untuk menghindari kemungkinan terjadi nasionalisme sempit pada hakim pengadilan nasional.28
Dalam sisitim hukum di Indonesia, karakteristik final and binding pada putusan arbitrase diakui secara imperative dalam Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, karena tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali terhadap putusan tersebut. Namun pada kenyataannya, terdapat sengketa transaksi bisnis internasional yang telah diputus oleh badan arbitrase, khususnya badan arbitrase internasional, justru menimbulkan kontroversi dan pelaksanaan
25 Eman Suparman, Pilihan Forum Abitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Tatanusa, Jakarta, 2004, hlm. 2 26 Ibid, hlm.3 27 Perhatikan Erman Rajagukguk, Opcit., hlm. 193-194 28 Perhatikan Hikamahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 84.
putusannya masih berlarut-larut yang berujung pada pencitraan lemahnya kepastian hukum di Indonesia.
Salah satu perkara yang sering menjadi referensi adalah sengketa antara Pertamina vs Karaha Bodas Company LLC dalam proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Karaha Bodas. Perkara yang diputus oleh Majelis Arbitrase Jenewa Swiss berdasarkan ketentuan Arbitrase UNCITRAL pada tanggal 18 Desember 2000 ini menghukum Pertamina untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 266,166,654 dan berikut bunga 4 % pertahun karena Pertamina terbukti telah melanggar kewajiban yang seharusnya mereka penuhi sebagaimana tertuang dalam Joint Operation Contract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC).29 Pertamina melakukan upaya hukum melalui gugatan pembatalan putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan Pertamina dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan selanjutnya memerintahkan KBC untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk eksekusi terhadap putusan Majelis Arbitrase Jenewa. Diterimanya gugatan pembatalan putusan Arbitrase Jenewa tersebut oleh PN Jakarta Pusat mengaburkan kepastian hukum. Pasal VI jo. Pasal V (1) (e) Konvensi New York 1958 dengan tegas menyatakan bahwa pengadilan yang memiliki wewenang untuk memutus permohonan pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Internasional adalah hanya pengadilan di negara mana, atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut dibuat. Dari segi kompetensi relative, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut. Pasal 72 dan Pasal 1 ayat (4) UU Arbitasr dikatakan bahwa pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon. Oleh karenanya, jelas bahwa PN Jakarta Pusat tidak memiliki wewenang untuk menerima gugatan pembatalan putusan Arbitrase Jenewa, karena wilayah hukum PN Jakarta Pusat tidak meliputi tempat tinggal pemohon kasasi.
Satu hal yang juga menimbulkan pertanyaan adalah PN Jakarta Pusat menerima gugatan Pertamina sedangkan Putusan Majelis Arbitrase yang menjadi objek gugatan belum didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal dengan tegas Pasal 70 UU Arbitrase menyatakan suatu putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan apabila sudah didaftarkan di pengadilan.
Terlepas dari adanya praduga bahwa perkara ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, politik dan faktor non yuris lainnya, ketidakpastian hukum yang tercermin dari putusan ini menunjukkan lemahnya pemahaman para “penegak keadilan” pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di Indonesia. Seperti dikemukakan Prof. Priyatna Abdurrasyid dalam pernyataannya yang termuat dalam web-site hukum online, bahwa 99 % (sembilan puluh sembilan persen) hakim di Indonesia tidak memahami arbitrase.
E. Kepastian dalam Hukum Kepailitan
Salah satu bidang hukum yang terkait dengan bisnis internasional adalah hukum kepailitan. Pada umumnya secara tradisional hukum kepailitan lebih banyak diperbincangkan dalam konteks hukum nasional. Namun dengan adanya transaksi bisnis internasional, kepastian hukum dalam hukum kepailitan pun menjadi soroton masyarakat bisnis internasional dan dapat mempengaruhi iklim investasi suatu negara.
Tahun 2004 adalah tahun gugatan bagi PT Prudential Life Assurance (Prudential). Perusahaan asuransi kampiun dari Inggris ini harus jatuh bangun menghadapi serangkaian gugatan dan permohonan pailit. Hukumonline mencatat tak kurang dari empat permohonan pailit plus gugatan perdata terhadap perusahaan tersebut. Yang paling menohok tentunya permohonan pailit yang diajukan Lee Bon Siong, WN Malaysia yang pernah menjadi agen Prudential ke pengadilan niaga. Permohonan tersebut berbuntut dengan pailitnya perusahaan yang tergolong „top five‟ di Indonesia. Namun, kepailitan Prudential tidak
32 Komar Kantaatmadja, “Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR di Indonesia” dalam Hendermin Djarab, Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia.
F. Perlu Harmonisasi Hukum
Globalisasi merubah masyarakat dan hukum ada di dalam masyarakat (ibi societas ibi ius). Jika masyarakat berubah, hukum pun akan ikut berubah.35 Dengan demikian globalisasi hukum mengikuti globalisasi bidang lain, khususnya globalisasi ekonomi. Salah satu karakter globalisasi hukum adalah substansi undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas Negara. Globalisasi hukum tersebut dapat terjadi melalui perjanjian-perjanjian dan konvensi internasional, perjanjian privat dan institusi ekonomi baru.36 Disamping perjanjian internasional, perjanjian-perjanjian privat pun dapat mendorong kearah perubahan hukum. Globalisasi telah mempermudah aktifitas manusia melewati batas-batas territorial negaranya. Berbagai transaksi bisnis terjadi dan tidak jarang transaksi yang lahir dari perjanjian privat tersebut adalah jenis transaksi yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum suatu Negara. Namun akibat kepentingan ekonomi, dimana transaksi tersebut telah dikenal luas dalam praktek bisnis masyarakatnya, maka pemerintah melakukan upaya-upaya untuk mempositifkan transaksi-transaksi bisnis tersebut dalam peraturan perundang-undangan.
G. Kesiapan Melakukan Transaksi Bisnis Internasional
Transaksi bisnis internasional dapat menimbulkan masalah yang cukup kompleks, terutama karena perkembangannya yang cukup pesat dan terdapatnya lebih dari sistem hukum nasional dalam satu transaksi. Oleh karena itu, diperlukan kesiapan yang cukup dalam melakukan transaksi bisnis internasional. Keseiapan ini meliputi seluruh tahapan transaksi, yakni pada preparation phase, performance phase maupun enforcement phase. Pertimbangan yang tidak memadai dalam setiap tahapan tersebut dapat berakibat timbulnya masalah dalam pelaksanaan transaksi yang bersangkutan. Menurut Erman Rajagukguk aspek yang harus diperhatikan pada ketiga tahap transaksi meliputi aspek budaya (cultural aspect), aspek hukum (legal aspect) dan aspek praktis (practical aspect).
Preparation phase. Pada tahap persiapan transaksi, aspek cultural yang perlu diperhatikan meliputi peranan lawyer dalam budaya hukum mitra transaksi. Tidak semua budaya hukum masyarakat internasional meletakkan peran penting bagi lawyer dalam persiapan transaksi. Pada masyarakat Amerika Serikat yang litigious umumnya menempatkan peran strategis dari lawyer dalam fase persiapan transaksi, sebaliknya bagi masyarakat timur seperti Cina, Jepang dan Korea, peran ini tidak terlalu penting. Dari segi hukum, yang harus diperhatikan sebelum melakukan transaksi adalah klausula mengenai pilihan hukum (choice of law, governing law atau applicable law). Pilihan hukum ini sangat penting karena selain dapat menghindari ketidakpastian pengaturan juga akan mengurangi forum shopping jika terjadi permasalahan dalam transaksi. Sebenarnya dalam fase ini peran lawyer sangat penting untuk memberikan nasihat kepada pelaku transaksi mengenai keunggulan dan kelemahan dari hukum yang akan dipilih.
H. Penutup
Kepastian hukum dalam transaksi bisnis internasional sangat mempengaruhi iklim investasi di suatu negara, baik investasi langsung maupun portofolio, baik yang dilakukan dengan modal asing maupun modal dalam negeri. Ketidakpastian dalam pengaturan dan penegakan hukum dalam transaksi bisnis internasional memicu ketidaknyamanan berinvestasi dan ketidakpercayaan terhadap iklim investasi di negara tersebut. Dalam konteks Indonesia, ketidakpastian transaksi bisnis internasional ini masih menjadi bagian dari kendala
investasi. Ketidakpastian ini tidak saja karena ketidakpastian substansi hukum (peraturan perundang-undangan), terutama karena adanya unclearity of status and definition dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena ketidakpastian penerapan peraturan dalam putusan-putusan pengadilan.
Citra hukum yang tidak pasti tidak saja disebabkan oleh kelemahan substansi hukum, tetapi juga karena kelemahan sumber daya manusia dari penegak hukum dan kultur pelaku transaksi yang lebih mengutamakan pertimbangan kepentingan daripada itikad baik dalam melaksanakan kesepakatan transaksi.
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah langkah awal dalam pembaharuan hukum investasi (langsung) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan aktifitas transaksi. UU ini dengan tegas mencantumkan asas kepastian hukum sebagai fundamental yang utama penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. UU bukanlah jawaban akhir dari seluruh problematika investasi di Indonesia tetapi merupakan instrument hukum yang berupaya memberikan bentuk dan arah pembangunan hukum investasi di Indonesia. Oleh karena itu UU ini harus didukung oleh pembaharuan dan pembangunan hukum investasi secara menyeluruh, sistematik dan terintegral. Banyak pekerjaan yang harus segera dilakukan pasca keluarnya UU ini. Dengan demikian, sangat diharapkan Indonesia menjadi tempat yang kondusif bagi investasi, sehingga optimalisasi peran investasi dapat dimanfaatkan dalam pembangunan ekonomi nasional dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional Indonesia sebagai negara berdaulat.
I. Kesimpulan
Kepastian hukum dalam transaksi bisnis sangatlah mempengaruhi keadaan perokonomian di Indonesia karena dengan ketidak pastian dalam pengaturan hukum ekonomi akan membuat ketidaknyamanan pula pada investor di Indonesia. Oleh karena itu kepastian hukum sebaiknya dibuat dengan bijak dan sesuai dengan peraturan yang ada agar perekonomian di Indonesia menjadi lebih baik.
Disusun oleh :
- Catur Dewi Ratifikasih
- Farah Fatahiyah
- Febi Aziza
- Kiki Ramdanti
- Lutfia Nurmanda
Kelas : 2EB05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar