Halaman

Minggu, 03 Juni 2012

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)

Review Jurnal :HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)
PENGARANG : AGNES VIRA ARDIAN


 Sumber :

http://www.anandkrishna.org/nim/ind/index2.php.htm
http://www.antara.co.id/arc/2007/10/23/Depbudpar-
Depkumham_Jalin_Kerja-sama_
Lindungi_Kekayaan_Intelektual_Budaya.htm
http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/UN_IPs/LEMBAR12.pdf



ABSTRAK (sinopsis)
Agnes Vira Ardian dalam tesisnya, Prospek Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam Kesenian Tradisional di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis mengenai itu, dan untuk mengetahui dan dalam rangka memberikan perlindungan bagi kesenian tradisional dari pembajakkan oleh negara lain.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif. Spesifikasi penelitian dalam penulisan hukum ini adalah bersifat deskriptif analitis. Jenis datanya berupa data sekunder, yang terdiri atas bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan atau dokumentasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah analisis data kualitatif kemudian  disimpulkan menggunakan logika deduksi untuk membangun sistem hukum
positif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa perlindungan hukum hak kekayaan
intelektual dalam kesenian tradisional di Indonesia, dibagi menjadi dua yaitu :
Perlindungan Preventif dan Perlindungan Represif. Perlindungan Preventif terdapat dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Sedang mengenai perlindungan represifnya pencipta atau ahli warisnya atau pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pemegang hak cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta. Gugatan pencipta atau ahli warisnya yang tanpa persetujuannya itu diatur dalam Pasal 55 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa persetujuannya:
1) Meniadakan nama pencipta pada ciptaan itu
2) Mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya
3) Mengganti atau mengubah judul ciptaan; atau
4) Mengubah isi ciptaan.

PENDAHULUAN
A.Latar belakang masalah
Proses globalisasi membawa akibat tolok ukur utama hubungan antar bangsa atau negara tidak lagi ideologi, melainkan ekonomi yakni keuntungan atau hasil nyata apa yang dapat diperoleh dari adanya hubungan tersebut. Pengaruh luar dapat cepat sekali masuk ke Indonesia sebagai implikasi terciptanya sistem ekonomi yang terbuka. Aspek dari sistem ekonomi adalah masalah produk yang pemasarannya tidak lagi terbatas pada satu negara
melainkan juga mengglobal. Hal ini menuntut standar kualitas dan persaingan yang fair, serta terhindarnya produk industri palsu, berdasarkan pada kesepakatan-kesepakatan dunia internasional.
Globalisasi mengandung makna yang dalam dan terjadi di segala aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial budaya, IPTEK, dan sebagainya. Globalisasi, dalam dunia bisnis misalnya, tidak hanya sekedar berdagang di seluruh dunia dengan cara baru, yang menjaga keseimbangan antara kualitas global hasil produksi dengan kebutuhan khas yang bersifat lokal dari konsumen. Cara baru ini dipengaruhi oleh saling ketergantungan antar bangsa yang semakin meningkat, berlakunya standar-standar dan kualitas baku internasional, melemahnya ikatan-ikatan etnosentrik yang sempit, peningkatan peran swasta dalam bentuk korporasi internasional, melemahnya ikatan-ikatan nasional di bidang ekonomi, peranan informasi sebagai kekuatan meningkat, munculnya kebutuhan akan manusia-manusia brilyan tanpa melihat kebangsaannya dan sebagainya.
Ekspansi perdagangan dunia dan juga dilakukannya rasionalisasi tarif tercakup dalam GATT (the General Agreement on Tarif and Trade). GATT sebenarnya merupakan kontrak antar partner dagang untuk tidak memperlakukan secara diskriminatif, proteksionis atas dasar law of the jungle dalam perdagangan dunia. Kesepakatan-kesepakatan dilaksanakan pada kegiatan putaran-putaran, sejak 1947 hingga putaran Uruguay (1986) yang menarik karena berhasilnya dibentuk WTO (World Trade Organization) yang mulai 1 Januari 1995.
HKI telah diatur dengan berbgai peraturanperundangundangan sesuai
dengan tuntutan TRIPs, yaitu UU No. 29 Tahun 2000 (Perlindungan Varietas
Tanaman), UU No. 30 Tahun 2000 (Rahasia Dagang), UU No. 31 Tahun 2000 (Desain
Industri), UU No. 32 Tahun 2000 (Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu), UU No. 14
Tahun 2001 (Paten), UU No. 15 Tahun 2001 (Merek), dan UU No. 19 Tahun 2002
(Hak Cipta).
HKI terkait dengan kreativitas manusia, dan daya cipta manusia dalam
memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah kehidupannya, baik dalam seni,
ilmu pengetehuan dan teknologi maupun produk unggulan suatu masyarakat. Oleh
karena itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan
eksistensi HKI sangat penting. Dimana kegiatan penelitian ini tidak dapat
menghindar dari masalah HKI apabila menginginkan suatu penghormatan hak
maupun inovasi baru, dan orisinalitasnya.
Permasalahan mengenai Hak Kekayaan Intelektual akan menyentuh
berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek
lainnya. Akan tetapi, aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan
bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi
berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual
tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual,
sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara
pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
Indonesia memiliki banyak komoditas asli. Akan tetapi, semuanya tak berarti apa-apa jika komoditas itu "dicuri" pihak asing. Sudah beberapa kali produk asal negara kita dibajak negara lain terutama Malaysia, yang gencar mempromosikan diri sebagai “Truly Asia”. Salah satu kasus yang dapat dikatakan paling menonjol adalah kasus pemanfaatan lagu 'Rasa Sayange' yang terasa riang, sederhana, dan amat menyenangkan jika dinyanyikan bersama-sama. Dimana semua sepakat ketika menyanyikan lagu itu terbayang di pelupuk mata betapa indahnya Ambon di Maluku sana. Pantas bila
kemudian hampir seluruh warga Indonesia terperanjat saat secara tiba-tiba Malaysia menjadikan lagu yang berirama sama persis dengan 'Rasa Sayange' sebagai "jingle" promosi pariwisata negeri jiran itu. Meski syair lagunya tidak sama, 'Rasa Sayange' versi Malaysia yang berjudul 'Rasa Sayang Hey' itu memiliki notasi dan irama yang hampir sama persis dengan lagu 'Rasa Sayange' yang lebih dahulu ada di Indonesia.
ISI
Kebudayaan (seni dan budaya) semakin disadari sebagai sebuah fenomena kehidupan manusia yang paling progresif, baik dalam hal pertemuan dan pergerakan manusia secara fisik ataupun ide/gagasan serta pengaruhnya dalam bidang ekonomi. Karenanya banyak negara yang kini menjadikan kebudayaan (komersial atau non komersial) sebagai bagian utama strategi pembangunannya. Selanjutnya, dalam jangka panjang akan terbentuk
sebuah sistem industri budaya. Dimana kebudayaan bertindak sebagai faktor utama pembentukan pola hidup, sekaligus mewakili citra sebuah komunitas. Di Indonesia, poros-poros seni dan budaya seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Denpasar (Bali) telah menyadari hal ini dan mulai membangun sistem industri budayanya masing-masing. Meski dalam beberapa kasus, industri budaya lebih merupakan ekspansi daripada pengenalan kebudayaan, tetapi dalam beberapa pengalaman utama, industri budaya justru merangsang kehidupan masyarakat pendukungnya.
Industri budaya akan merangsang kesadaran masyarakat untuk melihat kembali dirinya sebagai aktor penting kebudayaannya. Mendorong perhatian masyarakat terhadap posisi dirinya dalam peradabannya. Selanjutnya diharapkan dapat berkembang menjadi ajang para seniman dan masyarakat untuk bereksplorasi dan berkompetisi dalam kreatifitas menerjemahkan tandatanda zaman. Dimana seharusnya industri budaya menjadi wahana masyarakat lokal untuk menegaskan identitas budayanya berhadapan dengan budaya
global. Industri yang mampu menyerap interaksi antara seniman, budayawan, intelektual, pengusaha dan masyarakat secara luar biasa baik dalam intensitas maupun kualitasnya. Kasus industri musik dapat dijadikan contoh, dalam hal produk material industri budaya, yaitu betapa terintegrasinya produk industri tersebut dengan pasar, telah membentuk industri budaya yang kokoh dan berkelanjutan.
Kebudayaan Indonesia merupakan salah satu kompleksitas budaya di
dunia yang memiliki ciri dan karakter khas, dimana masyarakat menjadi
elemen pendukung utama. Kebudayaan dengan sendirinya telah terintegrasi
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, baik dalam pola hidup secara sosial,
ekonomi, politis, pemerintahan tradisional, dan lain-lain. Meski demikian,
dengan potensi budaya yang sangat potensial dan integritas masyarakat serta
budaya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, ternyata sangat sulit sekali
membangun sebuah sistem industri budaya yang akan berfungsi mendukung
energi kreatif masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Pasal 10 Undang-undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Negara Indonesia memegang hak cipta atas karya-karya anonim, dimana karya tersebut merupakan bagian dari warisan budaya komunal maupun bersama. Contoh dari karya-karya tersebut adalah folklore, cerita rakyat, legenda, narasi sejarah, komposisi, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian dan kaligrafi. Sampai saat ini pasal tersebut belum diturunkan dengan peraturan pemerintah. Sehingga ada banyak pertanyaan yang masih melekat seputar dampak yang dapat ditimbulkannya. Warisan budaya yang terdapat di masing-masing daerah di Indonesia dapat dilindungi Hak Cipta, guna menghindarkan penggunaan oleh negara
lain. Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 menyebutkan warisan budaya baik seni tari, cerita rakyat maupun aset seperti rumah adat, merupakan salah satu ciptaan yang dapat dilindungi hak cipta dan berlaku selama hidup pencipta ditambah 50 tahun. Sedangkan untuk tarian daerah yang tidak diketahui dengan pasti
penciptanya karena diturunkan dari generasi ke generasi, maka sesuai Pasal 10 ayat (2) UU Hak Cipta, menjadi milik bersama artinya negara yang memiliki. Selanjutnya dalam ayat (3) pasal itu, mengatur bahwa setiap orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu memperoleh ijin untuk mengumumkan atau memperbanyak tarian-tarian khas suatu daerah.
Dan hasilnya ?
Konsep perlindungan terhadap HKI pada dasarnya adalah memberikan hak monopoli, dan dengan hak monopoli ini, pemilik HKI dapat menikmati manfaat ekonomi dari kekayaan intelektual yang didapatnya. Perlu diakui bahwa konsep HKI yang kita anut berasal dari Barat, yaitu konsep yang
didasarkan atas kemampuan individual dalam melakukan kegiatan untuk menghasilkan temuan (invention). Pemberian hak monopoli kepada individu dan perusahaan ini, sering bertentangan dengan kepentingan publik (obat, makanan, pertanian). Di samping itu, berbagai perundangan HKI pada kenyataannya tidak dapat melindungi pengetahuan dan kearifan tradisional (traditional knowledge and genius). Pengetahuan tradisional yang berkembang di negara seperti Indonesia, berorientasi kepada komunitas, bukan individu. Sehingga masalah perlindungan pengetahuan tradisional yang muncul selalu harus diselesaikan secara khusus (obat, herbs, lingkungan hidup). Dimasukannya masalah HKI kedalam bagian dari GATT melalui TRIPS, menambah kesenjangan dalam pemanfaatan kekayaan intelektual antara negara maju dan negara industri baru/berkembang.
HKI dibangun di atas landasan “kepentingan ekonomi”, hukum
tentang property (intellectual property). HKI identik dengan komersialisasi
karya intelektual sebagai suatu property. Perlindungan HKI menjadi tidak
relevan apabila tidak dikaitkan dengan proses atau kegiatan komersialisasi
HKI itu sendiri. Hal ini makin jelas dengan munculnya istilah “Trade Related
Aspect of Intellectual Property Rights” (TRIPs), dalam kaitannya dengan
masalah perdagangan internasional dan menjadi sebuah icon penting dalam
pembicaraan tentang karya intelektual manusia. Ini pun berarti bahwa HKI
lebih menjadi domainnya GATT-WTO, ketimbang WIPO. Karakter dasar
HKI semacam itulah yang diadopsi ke dalam perundang-undangan Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa pembentukan hukum HKI di Indonesia merupakan
transplantasi hukum asing ke dalam sistem hukum Indonesia
Hak cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui, maka
negaralah yang berhak memegang hak cipta atas karya peninggalan pra
sejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya tersebut. Negara
memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi
milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu,
kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya (Pasal 10
ayat (1) dan ayat (2) UUHC).
Nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun-temurun termasuk sebagai
berikut:
1. Cerita rakyat, puisi rakyat;
2. Lagu-lagu rakyat dan musik intrumen tradisional;
3. Tari-tarian rakyat, permainan tradisional ;
4. Hasil seni antara lain berupa lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik, dan tenun tradisional.
RPP mengenai "Hak Cipta atas Folklor yang Dipegang oleh Negara", adalah jabaran lebih khusus mengenai pengaturan folkor dalam Undangundang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Dalam draft Peraturan Pemerintah tersebut yang disebut sebagai folklor dipilah ke dalam :
1. ekspresi verbal dan non-verbal dalam bentuk cerita rakyat, puisi rakyat, teka-teki, pepatah, peribahasa, pidato adat, ekspresi verbal dan non-verbal lainnya;
2. ekspresi lagu atau musik dengan atau tanpa lirik;
3. ekspresi dalam bentuk gerak seperti tarian tradisional, permainan, dan upacara adat;
4. karya kesenian dalam bentuk gambar, lukisan, ukiran, patung, keramik, terakota, mosaik, kerajinan kayu, kerajinan perak, kerajinan perhiasan, kerajinan anyam-anyaman, kerajinan sulam-sulaman, kerajinan tekstil, karpet, kostum adat, instrumen musik, dan karya arsitektur, kolase dan karya-karya lainnya yang berkaitan dengan folklor.
Di bawah UU Hak Cipta tersebut dirancang suatu Peraturan Pemerintah (PP) tentang "Hak Cipta atas Folklor yang Dipegang oleh Negara". Dalam hal itu yang dimaksud dengan "folklor" adalah segala ungkapan budaya yang dimiliki secara bersama oleh suatu komuniti atau masyarakat tradisional. Termasuk ke dalamnya adalah karya-karya kerajinan tangan. Dalam RPP tersebut dimasukkan pokok mengenai perlindungan terhadap pemanfaatan oleh orang asing, di mana pihak pemanfaat itu harus lebih dahulu mendapat izin dari instansi pemerintah yang diberi kewenangan untuk itu, serta apabila perbanyakan dilakukan untuk tujuan komersial, harus ada "keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi" dari karya folklor tersebut.
Seni dan budaya tidaklah statis, melainkan dinamis dan secara kontinu terus dimanfaatkan oleh masyarakat hingga kini dengan perubahan dan peningkatan. Misalnya adalah motif batik. Dalam kebudayaan Jawa telah mentradisi berupa sejumlah motif dasar, misalnya yang disebut truntum, semèn, kawung, parang, dll. Demikian juga dalam kain tenun seperti songket (Sumatera), lurik (Jawa), dll. Demikian juga dalam bidang kuliner, dikenal makanan “Coto Makassar” (Makasar), “Empe-empe” (Palembang), “Gudeg”
Karya seni tradisional ini selain memiliki nilai seni dan estetika juga memiliki nilai ekonomis serta yang sering tidak diketahui bahwa di dalamnya terkandung hak cipta yang dilindungi undang-undang. Sangat ironis bahwa banyak pencipta yang tidak memahami bahwa ia memiliki hak cipta atas karya cipta yang dihasilkan. Kebanyakan pencipta cukup puas jika karya ciptanya disukai banyak orang dan laku dijual, tanpa mengetahui dan memikirkan bahwa pencipta memiliki hak cipta yang perlu dilindungi dari eksploitasi secara ilegal oleh pihak yang tidak berhak. Sebagai ilustrasi dapat diuraikan tentang kejadian di Bali dimana ada turis Belanda yang memesan kerajinan patung kayu Bali ke pencipta kerajinan kayu tersebut dalam jumlah besar untuk dikirim ke Belanda. Pencipta tersebut merasa bangga karena karyanya disenangi, ia dapat uang banyak dan bangga hasil karyanya bisa diekspor ke luar negeri. Ternyata di Belanda hasil kerajinan tersebut didaftarkan dan pada produk kerajinan tersebut ditempelkan made in Belanda. Tentunya eksploitasi semacam ini tidak kita inginkan karena sangat ironis bahwa pencipta yang sesungguhnya tidak mendapatkan hak yang selayaknya menjadi miliknya
secara optimal, padahal pencipta inilah yang telah berkorban baik waktu, tenaga pikiran maupun materi untuk menghasilkan ciptaannya. Kalau kita telaah dalam sistem peraturan perundang-undangan, karya seni tradisional sebagai suatu ciptaan masuk dalam lingkup perlindungan hak cipta. Permasalahan yang muncul adalah mengenai pembuktian bahwa
pencipta karya seni tradisional merupakan pencipta yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan karena dalam sistem hak cipta pendaftaran tidak bersifat wajib dan bukan merupakan pengakuan mengenai lahirnya hak cipta, sehingga banyak pencipta tidak mendaftarkan ciptaannya yang dampaknya bisa mempersulit pembuktian secara formal jika timbul sengketa di kemudian hari. Permasalahan lain yang muncul adalah dalam masyarakat tradisional yang mempunyai sifat komunal biasanya ciptaan yang telah dihasilkan seseorang akan dimanfaatkan secara kolektif oleh anggota masyarakat yang
lain, sehingga pencipta yang sesungguhnya kurang dapat menikmati hak ciptanya secara eksklusif atau bahkan ciptaannya itu disalahgunakan oleh anggota masyarakat untuk keuntungan pribadinya. Dari uraian di atas terlihat bahwa pokok permasalahan adalah tingkat pemahaman dan kesadaran pencipta atas hak ciptanya masih sangat rendah,
sehingga menimbulkan kendala bagi pencipta untuk memiliki dan mendayagunakan hak ciptanya secara eksklusif dan melindungi hak tersebut dari pelanggaran hak oleh pihak lain.
Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian yang akan mengkaji masalah yang berkaitan dengan perlindungan hukum karya seni tradisional dan upaya-upaya peningkatan pemahaman dan kesadaran pencipta karya seni tradisional atas hak ciptanya guna menghindari eksploitasi oleh pihak lain yang tidak berhak. Sehingga dengan penelitian ini diharapkan adanya penghargaan terhadap pencipta karya seni tradisional melalui perolehan dan pemilikan haknya secara layak serta lebih lanjut akan berdampak lebih luas bagi penghargaan karya seni tradisional di dunia internasional. Dan lebih utama
diharapkan dapat diciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan mencipta, sehingga secara stimulan dapat memberi pengaruh bagi tumbuh suburnya kreativitas masyarakat yang pada gilirannya dapat menciptakan stimulasi yang signifikan bagi lahirnya ciptaan-ciptaan baru yang beragam, berkualitas serta memberi manfaat bagi penggayaan khasanah kehidupan bangsa.
Sebelum dibahas mengenai perlindungan hukum karya seni tradisional dan upaya peningkatan pemahaman dan kesadaran pencipta karya seni tradisional atas hak ciptanya, perlu dibahas apa yang dimaksud karya seni tradisioinal dan pencipta. Menurut hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) karya seni tradisional diartikan sebagai pernyatan ekspresi estetika bangsa Indonesia yang khas dan asli yang secara sosial dipantulkan dalam wujud yang nyata maupun hasil renungan dan kreasi\ bangsa baik komunal maupun pribadi. Karya seni tradisional ini antara lain bisa berupa seni rupa (seni ukir, seni pahat, seni patung, seni lukis, kaligrafi), kerajinan tangan, seni Batik, seni tenun, seni pertunjukan (seni tari, seni musik, seni teater) dan seni arsitektur. Karya seni tradisional sebagai salah satu bentuk ciptaan masuk dalam lingkup perlindungan hak cipta, asalkan memenuhi kriteria atau syarat-syarat perlindungan hak cipta, yaitu :
1. ciptaan tersebut merupakan ide yang telah selesai diwujudkan dalam bentuk yang khas dan dalam kesatuan yang nyata, sehingga dapat ditangkap oleh panca indera. Oleh karena itu ide, gagasan, cita-cita tanpa ada perwujudannya tidak dapat dilindungi hak cipta.
2. menunjukkan keaslian atau orisinalitas yang berarti ciptaan tersebut dihasilkan dari kemampuan pikiran, kreativitas, imajinasi, kecekatan, ketrampilan dan keahlian pencipta yang bersifat pribadi.
3. ciptaan tersebut dihasilkan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum terhadap sistematik hukum. Penelitian terhadap sistematik hukum dilandasi dengan pengertian-pengertian dasar sistem hukum, yakni : masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, dan obyek hukum. Oleh karena itu, berikut akan dijabarkan mengenai masyarakat hukum,subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, dan obyek hukum mengenai perlindungan hukum karya seni tradisional dalam sistem peraturan perundang-undangan, dimana karya seni tradisional sebagai suatu ciptaan masuk dalam lingkup perlindungan hak cipta.
Pasal 11 UUHC 1997 tersebut sebagai berikut :
a.    Susunan perwajahan karya tulis (thyphographical arrangement), yaitu aspek seni atau estetika pada susunan dan bentuk penulisan karya tulis. Hal ini mencakup antara lain format, hiasan, warna dan susunan atau tata letak huruf yang secara keseluruhan menampilkan wujud yang khas;
b.    Gambar antara lain meliputi gambar teknik (technical drawings), motif, diagram, sketsa, logo dan bentuk huruf;
c.    Kolase adalah komposisi artistik yang dibuat dari berbagai bahan (misalnya dari kain, kertas, kayu) yang ditempelkan pada permukaan bahan;
d.    Karya seni terapan, yaitu seni kerajinan tangan yang dapat dibuat dalam jumlah banyak, seperti perhiasan (asesoris), mebel, kertas hias (ornament) untuk dinding dan desain pakaian;
e.    Alat peraga adalah alat peraga untuk kepentingan ilmu pengetahuan, termasuk pendidikan;
f.    Karya arsitektur, meliputi seni bangunan dan miniatur (market bangunan);
g.    Batik yang dilindungi yaitu batik sebagai ciptaan tersendiri yang merupakan ciptaan baru atau bukan tradisional (kontemporer). Karyakarya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Sedangkan untuk batik tradisional, perlindungan hanya diberlakukan terhadap pihak asing (luar negeri). Karya batik tradisional seperti parang rusak, sidomukti, truntum, dan lain-lain menurut perhitungan jangka waktu perlindungan hak ciptanya memang telah berakhir dan menjadi public domein. Karena itu, bagi orang Indonesia sendiri pada dasarnya bebas untuk menggunakannya;
h.    Karya sinematografi, yaitu ciptaan yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar (moving images) dan suara, meliputi film dokumenter, berita, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video dan atau media lainnya yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan;
i.      Bunga rampai meliputi ciptaan dalam bentuk buku yang berisi kumpulan berbagai karya tulis pilihan, himpunan lagu-lagu pilihan yang direkam dalam satu kaset, atau komposisi berbagai karya tari pilihan.
Baik UUHC 1982 maupun UUHC 1997, telah mengelompokkan ciptaan yang mendapatkan perlindungan hak cipta atas :
a. Ciptaan asli dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yakni
karya berupa :
1) Buku, pamflet dan semua hasil karya tulis lainnya;
2) Ciptaan tari (koreografi);
3) Ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
4) Seni rupa dalam segala bentuk;
5) Seni batik;
6) Karya arsitektur.
b. Ciptaan yang merupakan suatu ciptaan yang baru dan tersendiri sebagai ciptaan hasil pengolahan bentuk dari ciptaan yang asli, yakni karya cipta turunan atau derivatif, berupa :
1) Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lainnya yang diwujudkan dengan cara diucapkan;
2) Alat-alat peraga;
3) Karya pertunjukan;
4) Peta;
5) Sinematografi;
6) Karya rekaman suara atau bunyi;
7) Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan;
8) Karya fotografi;
9) Program komputer atau komputer program.
c. Semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu, seperti sketsa atau manuskrip. Pengelompokkan jenis ciptaan tersebut tetap dipakai karena
ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang universal. Pengelompokan jenis ciptaan ini pun sangat penting dalam kaitannya dengan ketentuan lamanya perlindungan.
Kemudian dengan UUHC 2002 diadakan perumusan ulang mengenai ruang lingkup Ciptaan yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UUHC 2002 yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup :
a.    buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b.     ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c.    alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d.    lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e.    drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f.    seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g.    arsitektur;
h.    peta;
i.      seni batik;
j.     fotografi;
k.    sinematografi;
l.      terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu. Selanjutnya, UUHC 2002 juga menjelaskan pengertian dari jenis Ciptaan yang dilindungi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 UUHC, sebagai berikut :
a.    Perwajahan karya tulis adalah karya cipta yang lazim dikenal dengan "typholographical arrangement", yaitu aspek seni pada susunan dan bentuk penulisan karya tulis. Hal ini mencakup antara lain format, hiasan, warna dan susunan atau tata letak huruf indah yang secara keseluruhan menampilkan wujud yang khas;
b.    Ciptaan lain yang sejenis adalah Ciptaan-ciptaan yang belum disebutkan, tetapi dapat disamakan dengan Ciptaan-ciptaan seperti ceramah, kuliah, dan pidato;
c.    Alat peraga adalah Ciptaan yang berbentuk dua ataupun tiga dimensi yang berkaitan dengan geografi, topografi, arsitektur, biologi atau ilmu pengetahuan lain;
d.    Lagu atau musik dalam undang-undang ini diartikan sebagai karya yang bersifat utuh, sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi, syair atau lirik, dan aransemennya termasuk notasi. Utuh disini berarti lagu atau musik tersebut merupakan satu kesatuan karya cipta;
e.    Gambar antara lain meliputi: motif, diagram, sketsa, logo dan bentuk huruf indah, dan gambar tersebut dibuat bukan untuk tujuan desain industri. Kolase adalah komposisi artistik yang dibuat dari berbagai bahan (misalnya dari kain, kertas, kayu) yang ditempelkan pada permukaan gambar. Sedang seni terapan yang berupa kerajinan tangan sejauh tujuan pembuatannya bukan untuk diproduksi secara massal merupakan suatu Ciptaan;
f.    Arsitektur antara lain meliputi seni gambar bangunan, seni gambar miniatur, dan seni gambar maket bangunan;
g.    Peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan/atau buatan manusia yang berada di atas ataupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu.
h.    Batik yang dibuat secara konvensional dilindungi dalam undangundang ini sebagai bentuk Ciptaan tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada Ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Disamakan dengan pengertian seni batik adalah karya tradisional lainnya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, ikat, dan lain- lain yang dewasa ini terus dikembangkan.
i.      Karya sinematografi yang merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan.
j.     Bunga rampai meliputi: Ciptaan dalam bentuk buku yang berisi kumpulan karya tulis pilihan, himpunan lagu-lagu pilihan yang direkam dalam satu kaset, cakram optik atau media lain, serta komposisi berbagai karya tari pilihan. Database adalah kompilasi data dalam bentuk apapun yang dapat dibaca oleh mesin (komputer) atau dalam bentuk lain, yang karena alasan pemilihan atau pengaturan atas isi data itu merupakan kreasi intelektual. Perlindungan terhadap database diberikan dengan tidak mengurangi hak Pencipta lain yang Ciptaannya dimasukkan dalam database tersebut. Sedangkan pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio dan novel menjadi film.
k.    Ciptaan yang belum diumumkan, sebagai contoh sketsa, manuskrip, cetak biru (blue print) dan yang sejenisnya dianggap Ciptaan yang sudah merupakan suatu kesatuan yang lengkap. Dengan demikian, tidak semua jenis Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mendapat perlindungan hukum, terbatas pada Ciptaan-ciptaan yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar saja. Ini berarti Ciptaan yang dilindungi hanyalah Ciptaan yang memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian seseorang. Idea atau gagasan seseorang tidak diberikan perlindungan Hak Cipta.
Selanjutnya, Pasal 13 UUHC 2002 menyebutkan karya yang tidak
ada hak cipta, yaitu :
a. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, yaitu Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara serta lembaga konstitusional lainnya;
b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya, seperti keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa, termasuk keputusan-keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Peristiwa Hukum
Pencipta atau ahli warisnya atau pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pemegang hak cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta. Gugatan pencipta atau ahli warisnya yang tanpa persetujuannya itu diatur dalam Pasal 55 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa persetujuannya:
a. Meniadakan nama pencipta pada ciptaan itu;
b. Mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya;
c. Mengganti atau mengubah judul ciptaan; atau
d. Mengubah isi ciptaan.
Hak untuk mengajukan gugatan itu tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran hak cipta (Pasal 66) dalam hal penyidikan di bidang hak cipta bahwa selain penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan hak kekayaan intelektual diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta. Hukum Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang hak cipta memberikan sanksi jika terjadi pelanggaran terhadap tindak pidana di bidang hak cipta yaitu pidana penjara dan/atau denda, hal ini sesuai dengan ketentuan pidana dan/atau denda dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebagai berikut :
l. Pasal 72 ayat (1) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
Pasal 72 ayat (2) : Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). n. Pasal 72 ayat (3) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
o. Pasal 72 ayat (4) : Barangsiapa melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
p. Pasal 72 ayat (5) : Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
q. Pasal 72 ayat (6) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
r. Pasal 72 ayat (7) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). s. Pasal 72 ayat (8) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus
lima puluh juta rupiah)
t. Pasal 72 ayat (9) : Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
u. Pasal 73 ayat (1) : Ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta atau hak terkait serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh negara untuk dimusnahkan.
 Pasal 73 ayat (2) : Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang seni dan bersifat unik, dapat dipertimbangkan untuk tidak dimusnahkan. Jelasnya yang dimaksud dengan “bersifat unik” adalah bersifat lain daripada yang lain, tidak ada persamaan dengan yang lain, atau yang bersifat khusus.
Ketentuan pidana tersebut di atas, menunjukkan kepada pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait lainnya untuk memantau perkara pelanggaran hak cipta kepada Pengadilan Niaga dengan sanksi perdata berupa ganti kerugian dan tidak menutup hak negara untuk menuntut
perkara tindak pidana hak cipta kepada Pengadilan Niaga dengan sanksi pidana penjara bagi yang melanggar hak cipta tersebut. Ketentuanketentuan pidana dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dimaksudkan untuk memberikan ancaman pidana denda yang paling berat, paling banyak, sebagai salah satu upaya menangkal pelanggaran hak cipta, serta untuk melindungi pemegang hak cipta.
Pasal 10 UU No.19/2002 menyatakan bahwa Negara Indonesia
memegang hak cipta atas karya-karya anonim, dimana karya tersebut
merupakan bagian dari warisan budaya komunal maupun bersama. Contoh
dari karya-karya tersebut adalah folklore, cerita rakyat, legenda, narasi sejarah, komposisi, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian dan kaligrafi. Sampai saat ini pasal tersebut belum diturunkan dengan peraturan pemerintah. Sehingga ada banyak pertanyaan yang masih melekat seputar dampak yang dapat ditimbulkannya. Tapi ada kekhawatiran bahwa Pasal 10 tidak dapat menangani kekhawatiran yang telah dungkapkan oleh para seniman, bahkan mungkin dapat memperparah permasalahan yang mendasarinya. Sebagai contoh bahwa dalam situasi pemberlakuan apapun, Pasal 10 tidak akan berdampak di luar negeri karena hal tersebut telah diatur oleh perundang-undangan HKI negara bersangkutan. Di dalam negeri, ketidakjelasan Pasal 10 mengundang perluasan perundang-undangan, khususnya yang berkaitan dengan konsep yang secara inheren kontroversial, seperti “keaslian” artistik. Sebagai tambahan ada risiko, bahwa tergantung dari cara pemberlakuannya, Pasal 10 akan menyebabkan :
1. hilangnya wewenang kelompok atau individu tertentu yang memiliki kepentingan langsung dalam berbagai bidang kesenian;
2. menimbulkan pembedaan yang tidak tepat antara kesenian “tradisional” dan praktek artistik yang masih hidup, yang kemudian menempatkan tradisi sebagai sesuai yang statis dan tidak relevan;
3. memicu adanya serbuan (“land rush”) klaim hak kepemilikan individual, karena adanya upaya untuk menghindari adanya karya-karya yang dinyatakan sebagai karya anonim.
Selain itu, ketika konsep HKI terlalu diandalkan, maka akan ada serangkaian risiko pada keberlangsungan hidup kesenian Indonesia. Banyak dari risiko ini muncul akibat adanya ketegangan mendasar antara individualisme kepemilikan ala Barat dengan modus khas akan produksi kesenian dalam bidang-bidang yang telah dikaji. Secara khusus, hak cipta
akan:
1. meningkatkan pengejaran “orisinalitas” untuk kepentingan diri sendiri;
2. menghasilkan pertentangan-pertentangan tidak penting dalam kaitannya dengan masalah kepemilikan dan penggunaan;
3. menimbulkan harapan palsu akan kekayaan yang timbul akibat adanya hak cipta;
4. menimbulkan tambahan biaya transaksi bagi artis;
5. mengakibatkan peningkatan konsentrasi kepemilikan dan hilangnya kontrol oleh para artis sendiri;
6. menghambat kerjasama dan kolaborasi antar artis;
7. menghambat proses kreatif artis yang merupakan esensi dari hidupnya gairah kesenian.
Masalah yang menyangkut komponen seniman yaitu kendala budaya. Seniman di Indonesia pada umumnya bersikap religius dan tradisional. Mereka menganggap kemampuan kesenian yang dimikinya merupakan pemberian Tuhan dan warisan tradisi yang diturunkan oleh lingkungan budaya kolektivisme. Sementara itu, konsep HKI datang dari budaya Barat, yang bertitik tolak pada pengakuan kepada hak-hak individu dalam tradisi falsafah kapitalisme. Di samping itu, tentu saja pengetahuan seniman tentang hukum,
khususnya hukum yang menyangkut hak cipta, sangatlah minim. Terutama para seniman tradisional, mereka hampir dapat dikatakan "buta hukum" hak cipta. Oleh sebab itu, sosialisasi HKI di kalangan seniman menjadi sangat penting artinya dan membutuhkan kiat tersendiri, mengingat seniman merupakan "masyarakat" yang punya kepribadian unik. Hal yang terakhir adalah kendala dari komponen masyarakat. Atas nama fiksi hukum dalam konteks hukum positif di Indonesia, masyarakat dianggap tahu tentang adanya UU Hak Cipta. Jika seorang warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap UU Hak Cipta, mereka akan kena sanksi hukum meskipun mereka menyatakan bahwa tidak tahu perbuatannya dilarang
KESIMPULAN
Dari bab pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Perlindungan hukum hak kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional di Indonesia, dibagi menjadi dua yaitu :
a. Perlindungan Preventif
Perlindungan preventif hak kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional di Indonesia terdapat dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pasal 10 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang berjudul ‘Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui’, menetapkan :
(9) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
(10) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
(11) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi
yang terkait dalam masalah tersebut.
(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, perlindungannya berlaku tanpa batas waktu (Pasal 31 ayat (1) huruf a).
b. Perlindungan Represif
Perlindungan represif hak kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional di Indonesia terdapat juga dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pencipta atau ahli warisnya atau pemegang hak cipta, dimana dalam hal kesenian tradisional hak ciptanya dipegang oleh Negara, berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pemegang hak cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta. Gugatan pencipta atau ahli warisnya yang tanpa persetujuannya itu diatur dalam Pasal 55 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa persetujuannya:
1) Meniadakan nama pencipta pada ciptaan itu;
2) Mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya;
3) Mengganti atau mengubah judul ciptaan; atau
4) Mengubah isi ciptaan.
2. Prospek hukum hak kekayaan intelektual di Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi kesenian tradisional dari pembajakkan oleh negara lain adalah :
a. Pembentukan perundang-undangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal;
b. Pelaksanaan dokumentasi sebagai sarana untuk defensive protection dengan melibatkan masyarakat atau LSM dalam proses efektifikasi dokumentasi dengan dimotori Pemerintah Pusat dan Daerah;
c. Menyiapkan mekanisme benefit sharing yang tetap.

Disusun oleh :
  1. Catur Dewi Ratifikasih
  2. Farah Fatahiyah
  3. Febi Aziza
  4. Kiki Ramdanti
  5. Lutfia Nurmanda
Kelas : 2EB05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

look it :D