Halaman

Jumat, 29 November 2013

UU Kode Etik Tahun 2010 dengan Kewajiban Perusahaan Menyajikan Laporan Keuangan sesuai dengan IFRS



UU NO.5 TAHUN 2011 AP (AKUNTAN PUBLIK) DALAM MENGHADAPI ERA INTERNATIONAL FINANCIAL REPORT STANDARD (IFRS)

Kode Etik Profesi Akuntan Publik (sebelumnya disebut Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik) adalah aturan etika yang harus diterapkan oleh anggota Institut Akuntan Publik Indonesia atau IAPI (sebelumnya Ikatan Akuntan Indonesia - Kompartemen Akuntan Publik atau IAI-KAP) dan staf profesional (baik yang anggota IAPI maupun yang bukan anggota IAPI) yang bekerja pada satu Kantor Akuntan Publik (KAP).

Standar Profesional Akuntan Publik (disingkat SPAP) adalah kodifikasi berbagai pernyataan standar teknis yang merupakan panduan dalam memberikan jasa bagi akuntan publik di Indonesia. SPAP dikeluarkan oleh Dewan Standar Profesional Akuntan Publik Institut Akuntan Publik Indonesia (DSPAP IAPI).
Standar-standar yang tercakup dalam SPAP adalah:
1.      Standar Auditing
2.      Standar Atestasi
3.      Standar Jasa Akuntansi dan Review
4.      Standar Jasa Konsultansi
5.      Standar Pengendalian Mutu

Gambaran Umum UU NO.5 TAHUN 2011

UU ini pertama kali disahkan oleh Presiden kita Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 3 Mei 2011.   UU ini terdiri dari 62 pasal yg dibagi kedalam 16 bab yg mengatur dari hak & kewajiban, perijinan Akuntan Publik , kerja sama Akuntan Publik,"SANKSI ADMINISTRATIF". Dalam UU ini sanksi-sanksi yang diberlakukannya semakin ketat dan jelas.

Tujuan dari UU Akuntan Publik ini adalah untuk melindungi kepentingan publik, mendukung perekonomian yg sehat, efisien, dan transparansi, memelihara integritas profesi AP, meningkatkan kompetensi dan kualitas profesi AP, melindungi kepentingan profesi AP sesuai dengan standard dan kode etik profesi.

Beberapa point hal baru antara lain: terkait jasa (pasal 3), proses menjadi AP & perijinan AP (pasal 5&6), rotasi audit (pasal 4), AP asing (pasal 7), Bentuk usaha AP (pasal 12), Rekan non AP (pasal 14-16), Pihak terasosiasi (pasal 29 & 52), KPAP (komite profesi akuntan publik) (pasal 45-48), OAI (organisasi audit Indonesia) (pasal 33-34), Kewenangan APAP (asosiasi profesi akuntan publik) (pasal 43-44), Tanggung jawab KAPA/OAA (pasal 38-40), Jenis sanksi administrasi (pasal 53), dan Sanksi pidana (pasal 55-57).

Kode Etik Profesi Akuntan Publik (sebelumnya disebut Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik) adalah aturan etika yang harus diterapkan oleh anggota Institut Akuntan Publik Indonesiaatau IAPI (sebelumnya Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik atau IAI-KAP) dan staf profesional (baik yang anggota IAPI maupun yang bukan anggota IAPI) yang bekerja pada satu Kantor Akuntan Publik (KAP).
Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang baru saja diterbitkan oleh IAPI menyebutkan 5 prinsip-prinsip dasar etika profesi, yaitu:
1.      Prinsip Integritas
2.      Prinsip Objektivitas
3.      Prinsip Kompetensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati-hatian Profesional
4.      Prinsip Kerahasiaan
5.      Prinsip Perilaku Profesional

Berikut adalah link yang menjelaskan uraian UU NO.5 TAHUN 2011 mengenai AKUNTAN PUBLIK .

Tantangan Akuntan Publik dalam Menghadapi Konvergensi IFRS dan Era Globalisasi
            Banyak sisi pandang yang dapat kita analisis saat disahkannya UU No.5 Tahun 2011 oleh Presiden SBY. Pokok bahasan yang paling sering dibicarkan saat ini secara umum untuk Negara Indonesia dan khususnya untuk Tenaga ahli Akuntan Publik di Indonesia,  adalah menghadapi Konvergensi atau adopsi standar keuangan yang baru dari PSAK menjadi IFRS.
International Accounting Standards, yang lebih dikenal sebagai International Financial Reporting Standards (IFRS), merupakan standar tunggal pelaporan akuntansi berkualitas tinggi dan kerangka akuntasi berbasiskan prinsip yang meliputi penilaian profesional yang kuat dengan disclosures yang jelas dan transparan mengenai substansi ekonomis transaksi, penjelasan hingga mencapai kesimpulan tertentu, dan akuntansi terkait transaksi tersebut. Dengan demikian, pengguna laporan keuangan dapat dengan mudah membandingkan informasi keuangan entitas antar negara di berbagai belahan dunia.
Dampaknya, dengan mengadopsi IFRS berarti mengadopsi bahasa pelaporan keuangan global yang akan membuat suatu perusahaan dapat dimengerti oleh pasar global. Suatu perusahaan akan memiliki daya saing yang lebih besar ketika mengadopsi IFRS dalam laporan keuangannya. Tidak mengherankan, banyak perusahaan yang telah mengadopsi IFRS mengalami kemajuan yang signifikan saat memasuki pasar modal global.
Negara kita Indonesia, konvergensi IFRS dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin daya saing nasional. Perubahan tata cara pelaporan keuangan dari Generally Accepted Accounting Principles (GAAP), PSAK, atau lainnya ke IFRS berdampak sangat luas. IFRS akan menjadi aspek kompetensi wajib-baru bagi akuntan publik, penilai (appraiser), akuntan manajemen, regulator dan akuntan pendidik.
Setelah uraian diatas bagaimana Indonesia mengkonvergensi IFRS, mari kita lihat dari sisi lain bagaimana kondisi tenaga akuntan Indonesia dalam menghadapi perubahan PSAK menjadi IFRS.
Liberalisasi jasa akuntan se-ASEAN dalam kerangka AFTA 2015, tampaknya bukanlah masalah enteng bagi keprofesian. Persaingan ketat dengan akuntan-akuntan negara tentangga pada medan tersebut, baukanlah persoalan mudah, bila merujuk posisi kekuatan dalam peta ASEAN. Kita masih kalah dari segi jumlah. Tak sedikit pula yang menyangsikan kualitas kompetensi akuntan Indonesia bila dibandingkan dengan akuntan-akuntan dari Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Data Jumlah Akuntan ASEAN tahun 2010 di masing-masing negara menyebutkan, yang menjadi anggota IAI hampir 10.000. Hal ini jauh tertinggal dengan Malaysia (27.292), Filipina (21.599), Singapura (23.262), dan Thaiand (51.737). Berdasarkan data Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Kementerian Keuangan jumlah akuntan publik di Indonesia juga tidak kalah memprihatinkan dibandingkan dengan negara tetangga. Dengan hanya bermodal 1.000 orang akuntan publik pada tahun 2012, Indonesia tertinggal jauh dengan Malaysia (2.500 akuntan publik), Filipina (4.941 akuntan publik), danThailand (6.000 akuntan publik). Padalah Indonesia adalah negara yang besar, dengan perkembangan ekonomi yang mengesankan dan suberdaya alam melimpah, sehingga dibutuhkan banyak akuntan berkualitas untuk mengawal pembangunan ekonomi agar semakin efisien dan efektif dengan kekuatan integritas, transparansi, dan akuntabilitas.
AFTA (ASEAN Free Trade Area) atau yang lebih dikenal dengan perdagangan bebas di Negara ASEAN. Event ini akan dilaksanakan tepatnya ditahun 2015. Menghadapi event ini, Tenaga akuntan Indonesia seperti yang dipaparkan diatas akan mengahdapi tantangan yang cukup berat, hal ini disebabkan karena kualitas dan kesiapan akuntan asing di negara-negara ASEAN sudah lebih memadai, sedangkan negara kita Indonesia masih harus memperbaiki dan memantapkan sektor keprofesian di tingkat nasional. Bila ditahun 2015 Indonesia masih kekurangan tenaga profesi akuntan Publik, maka bukanlah hal yang mustahil posisi ini akan diisi oleh akuntan warga negara asing.

Dalam UU No.5 Tahun 2011 juga sudah dicantumkan secara jelas bahwa profesi Akuntan Publik Asing dapat berkiprah di negara Indonesia berdasarkan ketentuan yang sudah ditetapkan. Andai jumlah Akuntan Publik pun sudah memadai namun tidak diiringi dengan kualitas yang bersaing seperti penguasaan bahasa asing, dan standar akuntansi internasional (IFRS) maka bisa jadi Akuntan Publik dari Indonesia akan kalah bersaing dengan Akuntan Publik asing dari negara-negara ASEAN. Pangsa pasar Indonesia akan banyak dikuasai AP Asing, perusahaan-perusahaan besar akan lebih memilih AP Asing, yang jauh lebih menguasai standar akuntansi internasional dan lebih berkualitas.
Dengan melihat kondisi seperti ini, Indonesia diharapkan mampu mencetak tenaga ahli Akuntan Publik yang lebih matang dan berkualitas. Ditetapkannya UU No.5 Tahun 2011, juga mampu menambah dan melahirkan Akuntan Publik yang bertaraf Internasional, yang mampu menguasai IFRS sebagai standar pelaporan internasional.
Tujuan IFRS adalah :
1.      Memastikan bahwa laporan keuangan intern perusahaan untuk periode-periode yang dimaksukan dalam laporan keuangan tahunan, mengandung informasi berkualitas tinggi
2.      transparansi bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang peiode yang disajikan
3.      Menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada IFRS
4.      dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat untuk para pengguna

Manfaat dari adanya suatu standard global IFRS :
1.      Pasar modal menjadi global dan modal investasi dapat bergerak di seluruh dunia tanpa hambatan berarti. Stadart pelaporan keuangan berkualitas tinggi yang digunakan secara konsisten di seluruh dunia akan memperbaiki efisiensi alokasi local
2.      investor dapat membuat keputusan yang lebih baik
3.      perusahaan-perusahaan dapat memperbaiki proses pengambilan keputusan mengenai merger dan akuisisi
4.      gagasan terbaik yang timbul dari aktivitas pembuatan standard dapat disebarkan dalam mengembangkan standard global yang berkualitas tertinggi.

 Referensi :

Kamis, 07 November 2013

Review Jurnal Etika Profesi Akuntansi ( Pengaruh Pengalaman, Keahlian, Situasi Audit, dan Gender Terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor melalui Skeptimisme Profesional Auditor )



PENGARUH PENGALAMAN, KEAHLIAN, SITUASI AUDIT, ETIKA DAN GENDER TERHADAP KETEPATAN PEMBERIAN OPINI AUDITOR MELALUI SKEPTISISME PROFESIONAL AUDITOR
(Studi Kasus Pada KAP Big Four di Jakarta)
Rr. Sabrina K.
Indira Januarti
(Universitas Diponegoro)
Nama                          : Febi Aziza
NPM                          : 22210672
Kelas                          : 4EB05
Title                    : Pengaruh Pengalaman, Keahlian, Situasi Audit, dan Gender Terhadap      Ketepatan Pemberian Opini Auditor melalui Skeptimisme Profesional Auditor
Author                        : Rr. Sabrina K dan Indira Januarti
Institusi                      : Universitas Diponogoro
Journal Source          http://sna.akuntansi.unikal.ac.id/makalah/101-SIPE-25.p



ABSTRACT

This particular reseach is aimed to examine both direct and indirect effects from the defined number variable, i.e experience, expertise, audit situation, ethics and gender toward the accuracy or precision of audit opinion as a direct effect, and oppositely as well those similar defined varibale examined toward auditor proffesionalism scepticism as an indirect effect.
Data was collected then accordingly processed by Partial Least Square (PLS) from the result of developed questionare which were disseminated to the big four accounting firm-KAP ( Deloitte, Ernst and Young, KPMG-Klynveld Peat Marwick Goerdeler dan PriceWaterhouseCoopers), with 88 out of 200 respondents upon those spreaded KAPs or 44 % respon rate.
After all, the final result for significant direct effect toward accuracy of audit opinion is gender, while for indirect effect of accuracy audit opinion through sceptisim is audit situation.
Key Words : Experience, expertise, audit situation, ethics, gender, accuracy or precision of audit opinion,auditor proffesionalism skepticism
                         
PENDAHULUAN

Peran auditor dalam memberikan opini atas laporan keuangan sangatlah penting. Dalam memberikan opini terhadap kewajaran sebuah laporan keuangan, seorang auditor harus memiliki sikap skeptis untuk bisa memutuskan atau menentukan sejauhmana tingkat keakuratan dan kebenaran atas bukti-bukti maupun informasi dari klien. Standar profesional akuntan publik mendefinisikan skeptisisme profesional sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (IAI, 2001). Standar auditing tersebut mensyaratkan agar auditor memiliki sikap skeptisisme profesional dalam mengevaluasi dan mengumpulkan bukti audit terutama yang terkait dengan penugasan mendeteksi kecurangan. Meskipun demikian, dalam kenyataannya seringkali auditor tidak memiliki skeptisisme profesional dalam melakukan proses audit. Penelitian Beasley (2001) dalam Herusetya (2007) yang didasarkan pada AAERs (Accounting and Auditing Releases), selama 11 periode (Januari 1987 – Desember 1997) menyatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan auditor dalam mendeteksi laporan keuangan adalah rendahnya tingkat skeptisisme profesional audit. Penelitian tersebut meneukan 45 kasus kecurangan dalam laporan keuangan, 24 kasus (60%) diantaranya terjadi karena auditor tidak menerapkan tingkat skeptisisme profesional yang memadai.
Dalam melaksanakan tugasnya auditor seringkali dihadapkan dengan berbagai macam situasi. Menurut Shaub dan Lawrence (1996) contoh situasi audit seperti related party transaction, hubungan pertemanan yang dekat antara auditor dengan klien, klien yang diaudit adalah orang yang memiliki kekuasaan kuat di suatu perusahaan akan mempengaruhi skeptisisme profesional auditor dalam memberikan opini yang tepat. Auditor sebagai profesi yang dituntut atas opini atas laporan keuangan perlu menjaga sikap profesionalnya. Untuk menjaga profesionalisme auditor perlu disusun etika profesional. Etika profesional dibutuhkan oleh auditor untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap mutu audit. Pengembangan kesadaran etis memainkan peranan kunci dalam semua area profesi akuntan, termasuk dalam melatih sikap skeptisisme profesional auditor (Louwers,1997). Menurut Budiman (2001) sebagai auditor profesional, harus memiliki moral yang baik, jujur, obyektif, dan transparan. Hal ini membuktikan bahwa etika menjadi faktor penting bagi auditor dalam melaksanakan proses audit yang hasilnya adalah opini atas laporan keuangan.
Faktor lain yang mempengaruhi skeptisisme profesional auditor adalah gender. Gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara pria dan wanita dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Webster’s New World Dictionary, 2008). Menurut Zulaikha (2006) sejak tahun 1975, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) telah menetapkan suatu dekade wanita yakni dasa warsa wanita (1975-1985). Sejak saat itu dunia mulai menyoroti peranan wanita, baik bagi dunia maju maupun dunia berkembang. Seiring dengan berkembangnya waktu, sekarang ini profesi auditor tidak hanya digeluti oleh pria. Banyak wanita yang kini menjadi auditor.Menurut Robbins (2006) antara pria dan wanita berbeda pada reaksi emosional dan kemampuan membaca orang lain. Wanita menunjukkan ungkapan emosi yang lebih besar daripada pria, mereka mengalami emosi yang lebih hebat, mereka menampilkan ekspresi dari emosi baik yang positif maupun negatif, kecuali kemarahan. Wanita lebih baik dalam membaca isyarat-isyarat non verbal dibandingkan pria. Perbedaan sifat tersebut diantara keduanya mempengaruhi skeptisisme profesionalnya sebagai auditor untuk memberikan opini atas laporan keuangan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Fullerton (2005) yang menunjukkan bahwa internal auditor wanita rata-rata lebih skeptis dibandingkan dengan internal auditor pria.


LANDASAN TEORI
Teori Disonansi Kognitif
Pada dasarnya manusia bersifat konsisten dan akan cenderung mengambil sikap-sikap yang tidak bertentangan satu sama lain, serta menghindari melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan sikapnya.. Disonansi terjadi apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang akibat penyangkalan dari satu elemen kognitif terhadap elemen lain, antara elemen-elemen kognitif dalam diri inidividu. Teori disonansi kognitif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan pengaruh interaksi antara skeptisisme profesional auditor dan faktor-faktor yang mempengaruhinya terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Persyaratan profesional auditor memiliki sikap skeptisisme profesional, sehingga dapat mengumpulkan bukti audit yang memadai dan tidak dengan mudah menerima penjelasan dari klien sebagai dasar untuk memberi opini audit yang tepat dalam laporan keuangan. Teori ini juga membantu menjelaskan apakah skeptisisme profesional auditor berpengaruh pada ketepatan pemberian opini auditor dilihat dari faktor situasi audit, etika dan gender.
Disonansi kognitif terjadi apabila auditor mempunyai kepercayaan tinggi terhadap klien, sehingga menyebabkan sikap skeptisisme profesionalnya berada pada tingkat rendah, padahal standar profesional akuntan publik menghendaki agar auditor bersikap skeptis. Kejadian situasional seperti ditemukannya adanya kecurangan pada laporan keuangan atau situasi seperti masalah komunikasi antara auditor lama dengan auditor baru yang mengaudit suatu perusahaan juga akan berpengaruh terhadap opini yang diberikan pada perusahaan tersebut. Menanggapi kesulitan berkomunikasi tersebut juga akan berbeda antara pria dan wanita. Perbedaan itu menyangkut pola pikir mereka sebagai individu yang berkehendak untuk mengurangi disonanasi atau inkonsistensi dalam melakukan proses audit hingga pemberian opini atas laporan keuangan.
Kee dan Knox (1970) menyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor :
1. Faktor Kecondongan Etika
2. Faktor Situasi
3. Pengalaman.


HIPOTESIS
1 Pengaruh Langsung Faktor-faktor yang Mempengaruhi Skeptisisme Profesional Auditor dan Ketepatan Pemberian Opini Auditor
Theory Planned of Behavior menyatakan pada dasarnya sikap adalah kepercayaan postif atau negatif untuk menampilkan suatu perilaku tertentu, sehingga intensi untuk berperilaku ditentukan dari sikap. Fungsi dasar determinan perceived behavioral control berkaitan dengan pengalaman masa lalu dan persepsi seseorang untuk menentukan perilakunya. Fungsi determinan ini berkaitan dengan pengalaman masa lalu dan persepsi seseorang mengenai seberapa sulit untuk melakukan suatu perilaku (Achmat, 2001). Kriswandari (2006) dan Lawrence (1996) menyimpulkan bahwa auditor yang berpengalaman mampu menjelaskan hasil audit yang lebih luas. Azwar (1988) menyatakan bahwa diantara faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, pembentukan sikap penting karena akan berpengaruh pada prosedur audit yang dijalani auditor tersebut sehingga opini yang diberikan akan tepat. Berdasarkan uraian tersebut maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H1a: Terdapat pengaruh positif antara pengalaman dengan ketepatan pemberian opini auditor.
H1b: Terdapat pengaruh positif antara keahlian dengan ketepatan pemberian opini auditor.
H1c: Terdapat pengaruh positif antara situasi audit dengan ketepatan pemberian opini auditor.
H1d: Terdapat pengaruh positif antara etika dengan ketepatan pemberian opini auditor.
H1e: Terdapat perbedaan antara wanita dengan pria dalam memberikan ketepatan pemberian opini auditor.
H2a : Terdapat pengaruh positif antara pengalaman dengan ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor.
H2b : Terdapat pengaruh positif antara keahlian dengan ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor.
H2c: Terdapat pengaruh positif antara situasi audit dengan ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor.
H2d: Terdapat pengaruh positif antara etika dengan ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor.
H2e: Terdapat pengaruh positif antara gender dengan ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor.

METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel Independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependen. Pada penelitian ini variabel independen berjumlah lima, dengan rincian sebagai berikut : Faktor pengalaman, keahlian, situasi,etika dan gender.
Indikator penelitian untuk variabel gender terlihat dari demografi responden pada kuesioner, dengan keterangan (1) Wanita, (0) Pria.
Variabel Intervening
(1) tingkat keraguan auditor tehrhadap bukti audit, (2) banyaknya pemeriksaan tambahan, (3) konfirmasi langsung. Pengukurannya melalui kuesioner yang diberikan pada responden melalui serangkaian situasi dan skenario menggunakan skala linkert lima point.
Variabel Dependen
(1) Tepat dan (0) Tidak tepat.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah para auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik di Jakarta. Sampel pada penelitian ini adalah auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik “Big Four” di Jakarta. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling, didasarkan pada pertimbangan bahwa auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik “Big Four” di Jakarta mewakili secara representatif auditor yang ada di Pulau Jawa.
Pengumpulan Data
Penyebaran dan pengumpulan kuesioner dilakukan secara langsung oleh peneliti dengan cara mengantar kuesioner langsung ke KAP “Big Four” di Jakarta yang menjadi objek dalam penelitian ini. Distribusi kuenioner di tabel 1.


Alat Analisis
Uji beda t-test digunakan untuk menentukan apakah dua sampel yang tidak berhubungan memiliki nilai rata-rata yang berbeda dan Partial Least Square (PLS).Pengujian hipotesis mediasi dapat dilakukan dengan prosedur yang dikembangkan oleh Sobel (1982) dan dikenal dengan uji Sobel (Sobel test). Nilai t hitung ini dibandingkan dengan nilai t tabel yaitu ≥ 1,96 untuk signifikan 5% dan t tabel ≥ 1,64 menunjukkan nilai signifikansi 10%. Jika nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel maka dapat disimpulkan terjadi pengaruh mediasi (Ghozali, 2009).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Tabel 2 menunjukkan gambaran umum 88 responden dalam penelitian ini. Tabel 3 menunjukkan statistik deskriptif.
Insert table 2 dan 3
Analisias
Uji beda t-test di tabel 4, menunjukkan bahwa yang membedakan antara pria dan wanita hanya variabel situasi dan ketepatan pemberian opini. Sedangkan variabel lainnya tidak berbeda antara pria dan wanita.
Hasil pengujian dengan menggunakan Partial Least Square (PLS), outer model menunjukkan bahwa indikator dalam tabel 5, 6 dan 7 menunjukkan valid dan reliabel. Indikator dikatakan valid bila nilai convergent validity > 0,7 dan signifikan, composite reliability > 0,7 (Ghozali 2011). Pengujian inner model tampak di gambar 2 dan tabel 8. Nilai R-Square untuk variabel OPINI diperoleh sebesar 0,160956 dan untuk variabel SKEPTIS diperoleh nilai R-Square sebesar 0,544033. Hasil ini menunjukkan bahwa 16,0956 % variabel opini dapat dipengaruhi oleh skeptisisme profesional auditor dan 54,4033 % variabel skeptis dapat dipengaruhi oleh variabel pengalaman, keahlian, situasi audit, etika serta gender.
Pengaruh pengalaman terhadap ketepatan pemberian opini auditor
Variabel pengalaman berpengaruh positif tidak signifikan terhadap variabel ketepatan pemberian opini auditor secara langsung. Hal ini dapat dilihat di tabel 9 nilai t statistik yang lebih rendah 1,960. Dengan demikian H1a dalam penelitian ini ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa variabel pengalaman tidak mempunyai pengaruh yang signifikan secara langsung terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Alasan penolakan hipotesis ini diduga bahwa data responden berdasarkan pengalaman audit dalam penelitian ini hasilnya sangat bervariasi dan rata-rata auditor junior. Hal ini didukung oleh penelitian Puspa (2006) yang menyatakan bahwa pertanyaan pada kuesioner dengan ilustrasi-ilustrasi yang berbeda melatarbelakangi judgment dan persepsi masing-masing responden yang bervariasi walaupun pengalaman (lama kerja dan banyaknya penugasan) yang hampir sama ternyata memiliki pertimbangan yang berbeda-beda dan sangat bervariasi. Hal yang sama dinyatakan Ariesanti (2001) bahwa pengalaman tidak berpengaruh terhadap kualitas audit sehingga tidak berpengaruh pada opini yang diberikan.
Pengaruh keahlian terhadap ketepatan pemberian opini auditor
Variabel keahlian berpengaruh positif tidak signifikan terhadap variabel ketepatan pemberian opini auditor secara langsung. Hal ini dapat dilihat di tabel 9, nilai t statistik yang lebih rendah 1,960. Dengan demikian H1c dalam penelitian ini ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa variabel pengalaman tidak mempunyai pengaruh yang signifikan secara langsung terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Menurut Simamora (2002) keahlian ditentukan oleh pendidikan kesarjanaan formal, pelatihan dan partisipasi dalam program edukasi yang berkelanjutan selama karir profesi, semakin tinggi tingkat pendidikan kesarjanaan formalnya maka semakin tepat dalam melaksanakan prosedur audit sehingga opini yang diberikan tepat. Alasan penolakan hipotesis 1b pada penelitian ini diduga karena sebagian besar responden berpendidikan S1 sehingga tidak semahir auditor berpendidikan S2 dalam memberikan opininya. Hal ini didukung oleh penelitian Gusti dan Ali (2008) yang menyatakan bahwa keahlian tidak berpengaruh signifikan terhadap pemberian opini auditor oleh akuntan publik.
Pengaruh situasi audit terhadap ketepatan pemberian opini auditor
Variabel situasi audit berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor secara langsung. Hal ini dapat dilihat di tabel 9, nilai t statistik yang lebih rendah dari 1,960. Dengan demikian H1c pada penelitian ini ditolak. Alasan penolakan hipotesis ini diduga karena tidak menyertakan variabel skeptisisme profesional auditor sebagai variabel intervening antara variabel situasi audit terhadap variabel ketepatan pemberian opini auditor. Menurut Suraida (2005) auditor harus memiliki skeptisisme profesional agar prosedur audit yang dilakukan baik sehingga opini yang diberikan auditor tepat. Skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh situasi audit karena berbagai macam situasi audit yang dihadapi auditor akan mempengaruhi tingkat skeptisisme profesionalnya dan akan berpengaruh terhadap pemberian opini auditor (Kee dan Knox, 1970). Oleh karena itu pengaruh situasi audit secara langsung terhadap ketepatan pemberian opini auditor tidak signifikan bila dibandingkan dengan pengaruh situasi audit terhadap ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor.
Pengaruh etika terhadap ketepatan pemberian opini auditor
Variabel etika berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap variabel ketepatan pemberian opini auditor secara langsung. Hal ini dapat dilihat di tabel 9, nilai t statistik yang lebih rendah 1,960. Dengan demikian H1d dalam penelitian ini ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa variabel etika tidak mempunyai pengaruh yang signifikan secara langsung terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan  Suraida (2005), namun demikian dari hasil penelitian Suraida (2005) tersebut etika berpengaruh positif signifikan terhadap pemberian opini auditor. Alasan penolakan hipotesis ini diduga karena perbedaan sampel yang digunakan. Pada penelitian ini responden kuesioner tidak dikriteriakan, sehingga sebagian besar responden kuesioner adalah auditor junior sedangkan pada penelitian Suraida (2005) sampel yang digunakan adalah auditor level senior. Auditor junior belum memiliki pengalaman yang tinggi sehingga etika profesionalnya belum sebaik level auditor-auditor yang senior (Gusti dan Ali, 2008). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gusti dan Ali (2008) yang menyatakan bahwa etika tidak berpengaruh signifikan terhadap pemberian opini auditor.
Pengaruh gender terhadap ketepatan pemnberian opini auditor
Variabel gender berpengaruh positif signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor secara langsung sehingga H1e pada penelitian ini diterima. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan cara berpikir dan penilaian antara wanita dan pria akan berpengaruh juga pada prosedur-prosedur audit yang dijalani sampai memberikan opini atas laporan keuangan yang diauditnya. Berdasarkan hasil uji beda t-test pada penelitian ini juga ditemukan hasil bahwa ada perbedaan antara wanita dan pria dalam memberikan opini audit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa opini audit yang diberikan wanita lebih tepat dari opini audit yang diberikan auditor pria.
Pengaruh pengalaman terhadap ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor
Pengaruh pengalaman terhadap ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor ditolak (tabel 9). Berdasarkan statistika deskriptif menunjukkan hasil bahwa auditor yang menjadi responden belum pengalaman. Atau diduga karena auditor jarang sekali menemukan kecurangan sehingga skeptisisme tidak terbentuk (Noviyanti,2008). Rose (2007) dalam Tuanakotta (2011) membuktikan bahwa auditor yang berpengalaman terhadap adanya kecurangan akan lebih memperhatikan bukti audit dari laporan keungan. Bukti audit itulah yang menjadi dasar pemberian opini atas laporan keuangan tersebut. Pada penelitian ini pengukuran pengalaman tidak mengukur pengalaman auditor dalam mendeteksi kecurangan pada laporan keuangan, penelitian ini mengukur pengalaman auditor berdasarkan lama kerja dan jumlah penugasan audit. Oleh karena itu meskipun auditor mempunyai masa kerja yang lebih lama di kantor akuntan publik tetapi kurang berpengalaman terhadap kecurangan maka skeptisisme profesionalnya tidak tinggi sehingga berpengaruh terhadap pemberian opini yang tidak tepat.
Pengaruh keahlian terhadap ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor
Pengaruh keahlian terhadap ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor ditolak (Tabel 9). Hal ini disebabkan keahlian auditor pada penelitian ini tidak tergolong tinggi, dilihat dari jawaban responden atas tiga ilustrasi dan data masing-masing responden mengenai pendidikan formal dan tingkat sertifikasi yang dimiliki auditor tersebut. Dari tabel 2 dapat disimpulkan sebagian besar latar belakang pendidikan formal auditor yang menjadi responden pada penelitian ini adalah S1, sedangkan auditor dengan pendidikan formal S2 hanya dua orang (minoritas). Menurut Meinhard (1987) auditor yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pandangan yang lebih luas mengenai berbagai hal dan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks. Jumlah responden yang lebih berpengetahuan dan mengenyam pendidikan tinggi (S2) hanya dua orang dari total 88 responden penelitian ini serta jawaban responden mengenai sertifikasi yang diperoleh selama masa kerjanya tidak dapat menjadi tolak ukur indikator keahlian dengan baik karena nilai loading factor nya kecil.   Pengaruh situasi audit terhadap ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor
Pengaruh situasi audit terhadap ketepatan pemberian opini auditor dengan skeptisisme profesional auditor sebagai variabel intervening menunjukkan hubungan yang positif signifikan. Pengujian hipotesis ketiga ini dilakukan dengan mengetahui pengujian antara skeptisisme profesional auditor dengan ketepatan pemberian opini auditor terlebih dahulu. Dari pengujian tersebut diperoleh nilai t-statistic yang lebih besar dari 1,96. Dapat disimpulkan bahwa situasi audit yang berbeda-beda dan bermacam-macam akan mempengaruhi pemberian opini oleh seorang akuntan publik melalui skeptisisme profesional auditor yang dia miliki.
Pengaruh etika terhadap ketepatan pemberian opini auditor oleh akuntan publik melalui skeptisisme profesional auditor
Pengaruh etika terhadap ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor sebagai variabel intervening menunjukkan hubungan positif yang tidak signifikan (tabel 9), Alasan penolakan hipotesis ini diduga karena penyebaran kuesioner pada responden tidak dikriteriakan. Menurut Gusti dan Ali (2008) semakin tinggi jabatan auditor maka semakin sering menghadapi berbagai macam situasi sehingga auditor senior akan memiliki standar etika yang lebih baik dibanding dengan auditor junior. Sebagian besar auditor yang menjadi responden pada penelitian ini adalah auditor junior. Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian Gusti dan Ali (2008) yang menyatakan bahwa etika tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor oleh akuntan publik melalui skeptisisme profesional auditor.
Pengaruh gender terhadap ketepatan pemberian opini auditor oleh akuntan publik melalui skeptisisme profesional auditor Pengujian pengaruh gender dengan ketepatan pemberian opini melalui skeptisisme profesional auditor ditolak (tabel 9). Alasan penolakan hipotesis ini diduga karena pengembangan kerangka teoritis yang disebut dengan the selectivity hypothesis oleh Myers dan Levy (1986) dalam Noviyanti (2008). Myers dan Levy menyatakan bahwa pria akan lebih baik daripada wanita dalam hal membuat keputusan atau judgment. Keputusan dalam hal ini akan berpengaruh terhadap opini yang akan diberikan. Menurut Berninghausen dan Kerstan (1992) adanya peran wanita di Indonesia yang diposisikan pada dua peran yaitu pada peran domestik dan peran publik tersebut secara logika akan berpengaruh terhadap kemampuan pengambilan keputusan yang tidak sebaik pria karena wanita berada di posisi peran yang lebih kompleks dibandingkan dengan pria.

KESIMPULAN
Penelitian ini memberikan bukti bahwa gender berpengaruh secara langsung terhadap ketepatan pemberian opini auditor, dan situasi audit berpengaruh positif dengan ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor. Sedangkan faktor lainnya pengalaman, keahlian, situasi dan etika tidak berpengaruh langsung terhadap ketepatan pemberian opini. Faktor pengalaman, etika, keahlian, gender tidak berpengaruh terhapad ketepatan pemberian opini melalui skeptisisme sebagai variabel intervening.
Keterbatasan penelitian ini bahwa kuesioner disampaikan kepada responden pada bulan november yang merupakan jadwal kerja terpadat bagi auditor sehingga dari 200 eksemplar kuesioner yang dibagikan hanya 88 eksemplar yang dapat dianalisis.

DAFTAR PUSTAKA

Achmat, Zakarija. 2010. Theory of Planned Behavior, Masihkan Relevan?. http://zakarija.staff.umm.ac.id/files/2010/12/, diakses tanggal 14 September 2010
Agoes. 2004. Auditing (Pemeriksaan Akuntan) oleh Akuntan Publik. Jakarta: Lembaga Penerbit Universitas Indonesia.
Agung, Mangaraja. 2007. “Disonansi Kognitif.” Literatur. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Ajzen, Icek. 1991. Organizational Behavior and Human Decison Process : Theory of Planned Behavior Online’s. http://home.comcast.net/-ajzen/tpb.obhdp-295, diakses tanggal 14 September 2011.

Penulis 1:
Nama : Rr. Sabrina K.
Institusi : Universitas Diponegoro
E-mail : sabhrina koes <sabhrinakoes@gmail.com>
Telp : 085641263292
Penulis 2 :
Nama : Indira Januarti
Institusi : Universitas Diponegoro
E-mail : indira_ppa@yahoo.com
Telp : 08122504391

look it :D