Etika atau ethikos dalam bahasa
yunani secara harfiah berarti timbul dari kebiasaan adalah sebuah sesuatu
dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas
yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika tidak bisa
dilepaska dari kehidupan manusia karena etika berasal dari keterikatan manusia
dengan lingkungannya dimana keterikatan tersebut tampak pada kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial dengan perilaku yang bersifat etis yang dimilikinya.
Perilaku etis manusia itulah yang mendasari munculnya etika sebagai sebuah
ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang baik dan buruk dalam kehidupannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1998) merumuskan pengertian
etika dalam tiga arti sebagai berikut:
- Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
- Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
- Nilai mengenai benar dan salah yang dianut masyarakat.
Menurut Profesor Robert Saloman,
Etika dapat dikelompokkan menjadi dua definisi yaitu:
- Etika merupakan karakter individu, dalam hal ini termasuk bahwa orang yang beretika adalah orang yang baik. Pengertian ini disebut pemahaman manusia sebagai individu yang beretika.
- Etika merupakan hukum sosial. Etika merupakan hukum yang mengatur, mengendalikan serta membatasi perilaku manusia.
Etika sebagai sebuah nilai yang
menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku di
dalam kehidupan kelompok tersebut, tentunya tidak akan terlepas dari
tindakan-tindakan tidak etis. Tindakan tidak etis yang dimaksudkan di sini
adalah tindakan melanggar etika yang berlaku dalam lingkungan kehidupan
tersebut. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan tidak etis
dalam sebuah perusahaan menurut Jan Hoesada (2002) adalah:
·
Kebutuhan Individu
Kebutuhan individu merupakan faktor
utama penyebab terjadinya tindakan-tindakan tidak etis. Contohnya, seseorang
bisa saja melakukan korupsi untuk mencapai kebutuhan pribadi dalam
kehidupannya. Sebuah keinginan yang tidak terpenuhi itulah yang memancing
individu melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis.
·
Tidak ada pedoman
Tindakan tidak etis bisa saja muncul
karena tidak adanya pedoman atau prosedur-prosedur yang baku tentang bagaimana
melakukan sesuatu.
·
Perilaku dan kebiasaan individu
Tindakan tidak etis juga bisa muncul
karena perilaku dan kebiasaan individu, tanpa memperhatikan faktor lingkungan
di mana individu tersebut berada.
·
Lingkunga tidak etis
Suatu lingkungan dapat mempengaruhi
orang lain yang berada dalam lingkungan tersebut untuk melakukan hal serupa.
Lingkungan tidak etis ini terkait pada teori psikologi sosial, di mana anggota
mencari konformitas dengan lingkungan dan kepercayaan pada kelompok.
·
Perilaku atasan
Jika atasan yang terbiasa melakukan
tindakan tidak etis, dapat mempengaruhi orang-orang yang berada dalam lingkup
pekerjaannya untuk melakukan hal serupa. Hal itu terjadi karena dalam kehidupan
sosial sering kali berlaku pedoman tidak tertulis bahwa apa yang dilakukan
atasan akan menjadi contoh bagi anak buahnya.
Dalam kenyataan di masyarakat
kegiatan pelanggaran etika yang terjadi juga mengakibatkan terjadinya
pelanggaran hukum. Salah satu contoh kasus pelanggaran hukum yang diawali oleh
pelanggaran etika bisa kita lihat dalam kasus mantan ketua mahkamah konstitusi
Akil Mochtar. Berikut ini adalah kutipan berita yang diambil dari situs pikiran
rakyat."
Contoh
Kasus :
-Kasus
1
Pencucian Uang, Seratusan Lebih Aset
Wawan akan Disita KPK
Jakarta - KPK memang belum melakukan
penyitaan terhadap aset-aset milik Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Namun
kabarnya, aset milik Wawan yang akan disita KPK jumlahnya lebih dari seratus.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan, Rabu (15/1/2014) ada setidaknya 150 item aset milik Wawan yang diduga didapatkan dari dana hasil korupsi. Aset-aset itu berasal dari perolehan dalam kurun waktu 2002-2013.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan, Rabu (15/1/2014) ada setidaknya 150 item aset milik Wawan yang diduga didapatkan dari dana hasil korupsi. Aset-aset itu berasal dari perolehan dalam kurun waktu 2002-2013.
KPK menerapkan Pasal UU Pencucian Uang no 8 Tahun 2010 dan juga versi lama dari undang-undang ini yakni UU no 15 Tahun 2002. Lembaga antikorupsi ini akan menggunakan undang-undang pencucian uang yang lama sebagai dasar hukum untuk melakukan sita untuk aset yang diperoleh dari 2002-2010.
"Kita duga, harta atau aset TCW sebelum tahun 2010, diperoleh dari hasil korupsi," ujar Jubir KPK Johan Budi di kantornya, Jl Rasuna Said, Jaksel, Rabu (15/1/2013).
Namun Johan mengatakan penyidik sampai saat ini belum melakukan penyitaan terhadap aset Wawan.
Tim
tengah melakukan penelaahan terlebih dahulu terhadap asal-usul aset tersebut.
"Sampai Senin kemarin, belum ada penyitaan. Tim masih melakukan penelaahan," kata Johan.
Ini bukan kali pertama KPK menerapkan undang-undang pencucian uang yang lama. Di kasus Irjen Djoko Susilo misalnya, KPK menerapkan cara yang sama dan akhirnya dapat membuktikan bahwa harta jenderal bintang dua itu, hasil perolehan dari 2012-2002 terbukti berasal dari korupsi.
Harta-harta itu pun disita. Vonis ini diketok oleh PN Tipikor dan diperkuat oleh PT DKI.
"Sampai Senin kemarin, belum ada penyitaan. Tim masih melakukan penelaahan," kata Johan.
Ini bukan kali pertama KPK menerapkan undang-undang pencucian uang yang lama. Di kasus Irjen Djoko Susilo misalnya, KPK menerapkan cara yang sama dan akhirnya dapat membuktikan bahwa harta jenderal bintang dua itu, hasil perolehan dari 2012-2002 terbukti berasal dari korupsi.
Harta-harta itu pun disita. Vonis ini diketok oleh PN Tipikor dan diperkuat oleh PT DKI.
Analisis:
Diduga
melakukan pencucian uang , kurang lebih 150 item asset milik wawan yang diduga
didapatkan dari dana hasil korupsi akan segera disita oleh KPK. KPK menerapkan
Pasal UU Pencucian Uang no 8 Tahun 2010 dan juga versi lama dari undang-undang
ini yakni UU no 15 Tahun 2002. Lembaga antikorupsi ini akan menggunakan
undang-undang pencucian uang yang lama sebagai dasar hukum untuk melakukan sita
untuk aset yang diperoleh dari 2002-2010.
-Kasus
2:
Dicekalnya
Ratu Atut oleh KPK, Bukti Penyimpangan Dari Politik Dinasti
Jakarta
- Buntut dari dugaan kasus suap Ketua Mahkamah Konsitutsi (MK) Akil Mochar
dalam Pilkada Lebak, merebak ke politik dinasti Gubernur Banten Ratu Atut
Chosiyah. Kasus ini dinilai sebagai bukti buruknya praktek politik dinasti.
"Masalah yang paling akut yang dihasilkan oleh politik dinasti ini adalah realitas adanya pelanggaran etika pemerintahan, penyimpangan APBD, dan management organisasi," kata pengamat politik LIPI Siti Zuhro saat berbincang, Minggu (13/10/2013).
"Dugaan korupsi adik Ratu atut dan dicekalnya Ratut Atut oleh KPK menjadi bukti jelas adanya pelanggaran dan penyimpangan itu," imbuhnya.
Menurutnya, demokrasi yang sehat dan beradab tidak akan memberikan peluang pada tumbuh dan berkembangnya politik dinasti. "Politik dinasti akan menjadi kanker ganas yang menggoroti demokrasi," ujarnya.
Siti memaparkan politik dinasti memiliki beberapa dampak negatif lain, selain penyelewengan APBD. Pertama, politik dinasti membuat birokrasi tidak akomodatif, tidak transparan dan tidak akuntabel. Sementara demokrasi mensyaratkan birokrasi yang bersih dan melayani, selain juga efektif dan efisien.
"Kedua, semakin kuat bangunan politik dinasti, akan semakin terhambat proses demokratisasi di daerah-daerah. Demokrasi tersandera oleh praktek politik dinasti," ujar Siti.
Ketiga, implikasi negatif dari politik dinasti adalah kinerja pemda yang tidak maksimal untuk kebutuhan rakyat. Program-program kurang berpihak pada rakyat karena politik dinasti cenderung berpihak pada kepentingan sendiri dan menjaga kesinambungannya kekuasaannya.
"Keempat, semakin kokoh bangunan suatu dinasti politik, maka akan semakin kecil pula peluang bagi warga masyarakat untuk mendapat kesempatan ikut serta berkompetisi, meskipun ini di era sistem demokrasi," kritik Siti.
"Mengapa, karena peluang itu sudah ditutup rapat-rapat, dan tidak memberikan celah bagi yang lain untuk turut mengisi jabatan-jabatan publik. Sirkulasi elite hanya berlangsung diantara mereka sendiri di dalam politik dinaasti itu," imbuhnya.
"Masalah yang paling akut yang dihasilkan oleh politik dinasti ini adalah realitas adanya pelanggaran etika pemerintahan, penyimpangan APBD, dan management organisasi," kata pengamat politik LIPI Siti Zuhro saat berbincang, Minggu (13/10/2013).
"Dugaan korupsi adik Ratu atut dan dicekalnya Ratut Atut oleh KPK menjadi bukti jelas adanya pelanggaran dan penyimpangan itu," imbuhnya.
Menurutnya, demokrasi yang sehat dan beradab tidak akan memberikan peluang pada tumbuh dan berkembangnya politik dinasti. "Politik dinasti akan menjadi kanker ganas yang menggoroti demokrasi," ujarnya.
Siti memaparkan politik dinasti memiliki beberapa dampak negatif lain, selain penyelewengan APBD. Pertama, politik dinasti membuat birokrasi tidak akomodatif, tidak transparan dan tidak akuntabel. Sementara demokrasi mensyaratkan birokrasi yang bersih dan melayani, selain juga efektif dan efisien.
"Kedua, semakin kuat bangunan politik dinasti, akan semakin terhambat proses demokratisasi di daerah-daerah. Demokrasi tersandera oleh praktek politik dinasti," ujar Siti.
Ketiga, implikasi negatif dari politik dinasti adalah kinerja pemda yang tidak maksimal untuk kebutuhan rakyat. Program-program kurang berpihak pada rakyat karena politik dinasti cenderung berpihak pada kepentingan sendiri dan menjaga kesinambungannya kekuasaannya.
"Keempat, semakin kokoh bangunan suatu dinasti politik, maka akan semakin kecil pula peluang bagi warga masyarakat untuk mendapat kesempatan ikut serta berkompetisi, meskipun ini di era sistem demokrasi," kritik Siti.
"Mengapa, karena peluang itu sudah ditutup rapat-rapat, dan tidak memberikan celah bagi yang lain untuk turut mengisi jabatan-jabatan publik. Sirkulasi elite hanya berlangsung diantara mereka sendiri di dalam politik dinaasti itu," imbuhnya.
Analisis:
Kasus
suap Ketua Mahkamah Konsitutsi (MK) Akil Mochar dalam Pilkada Lebak, merebak ke
politik dinasti Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Kasus ini dinilai sebagai
bukti buruknya praktek politik dinasti. Dugaan korupsi adik Ratu atut dan
dicekalnya Ratut Atut oleh KPK menjadi bukti jelas adanya pelanggaran dan
penyimpangan di dinasti gubernur banten ini. Dan saat ini kasus itu telah
ditangani dan terus diselidiki oleh KPK.
-Kasus
3
Melanggar Kode Etik, Dua
Hakim Kasus Bioremediasi Dilaporkan ke Komisi Yudisial
JAKARTA
– Diduga melanggar kode etik selama menangani perkara di pengadilan, dua hakim
dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yakni
Sudharmawatiningsih dan Antonius Widijantono pada Kamis, 7 November 2013
dilaporkan ke Komisi Yudisial.
Hakim
Sudharmawatiningsih dan Hakim Antonius, keduanya adalah hakim Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diduga telah melanggar
kode etik perilaku hakim saat menangani perkara Endah Rumbiyanti terkait proyek
bioremediasi PT CPI.
Laporan
ke Komisi Yudisial itu, disampaikan oleh tiga penasehat hukum Endah Rumbiyanti,
yang dipimpin Lelyana Santosa. Menurutnya, selama persidangan kasus bioremediasi
berlangsung, tampak perilaku kedua hakim ini jelas-jelas bertentangan dengan
sikap dan perilaku hakim yang seharusnya.
Para
terlapor (Sudharmawatiningsih dan Antonius, red), ujarnya, diadukan ke Komisi
Yudisial karena dinilai telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap
Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI No. 02/PB/MA/IX/2012
– 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim yang ditetapkan pada 27 September 2012 (Panduan 2012).
“Ada
paling tidak empat dugaan pelanggaran atas Panduan Penegakan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim atayu “Panduan 2012” yang dilakukan oleh hakim
Sudharmawatiningsih dalam menangani kasus klien kami,” jelas Lelyana usai
melapor ke Komisi Yudisial.
Pertama,
hakim Sudharmawatiningsih telah melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan
kesan memihak, berprasangka dan menyudutkan saksi-saksi dan ahli-ahli yang
keterangannya menguntungkan terdakwa, sehingga keterangan para saksi dan ahli
tidak dapat diberikan secara bebas di hadapan persidangan. Kedua, kata Lelyana,
beberapa kali hakim Sudharmawatiningsih menunjukkan sikap berprasangka atas
salah satu pihak dan atas fakta perkara saat pemeriksaan saksi serta ahli dalam
kasus bioremediasi.
Yang
ketiga, lanjutnya, selama memimpin persidangan kasus bioremediasi,
Sudharmawatiningsih menunjukkan sikap yang angkuh, tidak rendah hati, dan tidak
menghargai pendapat yang diberikan oleh ahli yang diajukan terdakwa Endah
Rumbiyanti di dalam persidangan.
“Keempat,
hakim Sudharwatiningsih tidak mempunyai tekat untuk melaksanakan pekerjaannya
dengan kesungguhan. Sehingga berakibat pada mutu pekerjaan, yaitu putusan yang
tidak sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan, bahkan bertentangan
dengan peraturan perundangan tentang isi putusan,” imbuh Lelyana.
Sementara
terkait laporannya soal hakim Antonius Widijantono, Lelyana Santosa menjelaskan
bahwa patut diduga hakim Antonius melakukan pelanggaran kode etik perilaku
hakim. Yaitu bersikap tidak arif dan menyudutkan saksi saat sedang berupaya
menjawab pertanyaan, agar jawaban yang terlontar dari saksi sesuai dengan yang
diinginkannya.
“Dalam
laporan ke Komisi Yudisial, kami menguraikan secara jelas dan kongkrit disertai
bukti-bukti tentang perilaku kedua hakim ini, dalam laporan setebal 17 halaman.
Masyarakat perlu mendapat edukasi yang benar tentang proses hukum, bahwa
hak-hak mereka di depan hukum ada dan harus dihormati oleh siapapun,” lanjut
Lelyana lagi.
Dalam
laporannya, tim penasehat hukum Endah Rumbiyanti pun meminta Komisi Yudisial
untuk melakukan investigasi, atas dugaan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh kedua hakim itu, serta menjatuhkan sanksi terhadap keduanya, atau
memberikan tindakan-tindakan lain yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
“Tindakan
kedua hakim itu selama mengadili kasus bioremediasi atas terdakwa Endah
Rumbiyanti, telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,” pungkasnya.
Analisis
:
Ditemukannya
beberapa dugaan pelanggaran kode etik dan prinsip profesi hakim yang
telah dilakukan oleh kedua hakim Tipikor di Pengadilan Negri yaitu Hakim
Sudharmawatiningsih dan Hakim Antonius yang dilaporkan oleh Endah Rumbiyanti
kepada Komisi Yudisial adalah hal yang tepat dalam hal ini. Apabila dugaan atas
kesalahannya yang berupa menimbulkan kesan memihak, berprasangka dan
menyudutkan saksi-saksi dan ahli-ahli yang keterangannya menguntungkan
terdakwa, sehingga keterangan para saksi dan ahli tidak dapat diberikan secara
bebas di hadapan persidangan, menunjukkan sikap yang angkuh, tidak rendah hati,
dan tidak menghargai pendapat yang diberikan oleh ahli yang diajukan terdakwa
Endah Rumbiyanti di dalam persidangan serta tidak mempunyai tekat untuk
melaksanakan pekerjaannya dengan kesungguhan. Sehingga berakibat pada mutu
pekerjaan, yaitu putusan yang tidak sesuai dengan fakta yang terungkap di
persidangan, bahkan bertentangan dengan peraturan perundangan tentang isi
putusan maka jelas bahwa kedua hakim tersebut telah melanggar beberapa Prinsip
Etika Profesi Hakim berdasarkan peraturan Komisi Yudisial karena dinilai telah
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI
dan Komisi Yudisial RI No. 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 tentang
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan pada 27
September 2012 (Panduan 2012) dan wajib diberikan hukuman.
SUMBER: